Makalah Fenomena Lembaga Keuangan mikro dalam perspektif Pembangunan Ekonomi
TUGAS TERSTRUKTUR
PENGANTAR ILMU EKONOMI
EKONOMI MIKRO
(Fenomena Lembaga Keuangan mikro dalam perspektif Pembangunan Ekonomi)
OLEH:
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
A.
PENDAHULUAN
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari
perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya
mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost).
Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut :
- Kebutuhan manusia
relatif tidak terbatas.
- Sumber daya
tersedia secara terbatas.
- Masing-masing
sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan.
Pembangunan ekonomi
pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Ekonomi Nasional,
keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk
fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan
usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan
indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek
usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong
peningkatan produktivitas dan
produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi teknologi yang relatif
rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah.Untuk mengatasi
kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan modal dari
berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan
jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak memiliki
akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan
dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas uang -
rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain
yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena
terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani
akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Berkenaan dengan
hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)pertanian akan menjadi
salah satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis sebagai
intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini tidak
terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional. Di
lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit dengan
pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha
ekonomi non pertanian. Oleh karena itu muncul persoalan: (a) sejauhmanakah keberadaan
LKM di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya dalam
fasilitasi pembiayaan usahatani? (b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberlanjutan
LKM tersebut dan (c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan yang
efektif untuk mendukung usahatani?
Makalah bertujuan
membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam
pembangunan ekonomi pedesaan
dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta mengungkap faktor-faktor
kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan LKM ke depan untuk
mendukung kegiatan usahatani.
Hasil pembahasan akan berguna
selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah ada, juga menjadi bahan masukan
dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi pedesaan ke depan.
Teori
Pertumbuhan Ekonomi
1. Karena persoalan-persoalan depresi ekonomi 1930-an telah teratasi, maka
muncul fenomena ekonomi yang lain di Amerika Serikat. Ada pertanda bahwa
tingkat pertumbuhan penduduk menurun, tabungan lebih besar dari investasi,
muncullah hipotesis ekonomi dalam keadaan stagnasi. Gejala itu menandakan
menurunnya permintaan efektif keadaan itu berubah, setelah Amerika Serikat
memasuki Perang Dunia ke-2, di mana permintaan efektif bangkit kembali, karena
pengeluaran pemerintah untuk membiayai perang dan industri senjata.
2. Harrod pada tahun 1939 telah
menyusun model pertumbuhan ekonomi yang bertolak dari prinsip-prinsip yang
dipakai Keynes. Teorinya berdasarkan 3 variabel utama, yakni tingkat
pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh rasio tabungan dengan pendapatan dan rasio
modal dengan tingkat pertambahan penduduk, sedangkan tingkat investasi
ditentukan oleh harapan-harapan investor (pengusaha). Dengan demikian dapat
terjadi ketidakstabilan dalam pertumbuhan. Artinya tingkat pertumbuhan yang
direncanakan tidak sama dengan tingkat pertumbuhan yang aktual, yang
menyebabkan terjadinya kelebihan produksi atau kekurangan produksi.
3. Solow yang bertolak dari
pemikiran ekonomi Neoklasik menyusun pula teori pertumbuhan ekonomi dengan
menggunakan teori produksi yang mengatasi kelemahan-kelemanah model
Harrod-Domar. Di sini pun terdapat tiga variabel utama, tetapi unsur
ketidakstabilan itu telah dihilangkan. Fungsi produksi dinyatakan dalam modal
perkapita; pertambahan modal per kapita sama dengan jumlah tabungan per kapita
dikurangi dengan jumlah pertumbuhan investasi per kapita. Output terbagi dua,
yakni untuk konsumsi dan untuk investasi. Dalam model ini ada tiga fungsi
utama, yakni fungsi produksi, fungsi tabungan, dan fungsi investasi. Dengan
demikian, tingkat keseimbangan antara ketiga fungsi itu stabil yang sedang
berkembang, kemungkinan terjadi perangkap-pertumbuhan, karena tingkat akumulasi
modal yang kecil, bahkan tingkat pertumbuhannya dapat lebih kecil dari tingkat
pertumbuhan penduduk
Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu
ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro.
1. Ekonomi Makro
Ilmu ekonomi makro
mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan).
Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja
dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi,
maupun neraca pembayaran internasional.
Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai
berikut :
- Sejauh mana
berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila
seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full
employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum
dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment
atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja
penuh.
- Sejauh mana
perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter.
Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi
inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi.
- Sejauh mana
perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai
dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off
maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk.
Untuk
yang selanjutnya yaitu ekonomi Mikro, adapun pengertian ekonomi Mikro sendiri
adalah sebagai berikut:
2. Ekonomi Mikro
Sementara ilmu ekonomi mikro
mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan,
rumah tangga.
Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu
menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan
yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi
atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan
menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus.
Salah satu tujuan ekonomi mikro
adalah menganalisa pasar beserta mekanismenya yang membentuk
harga relatif kepada produk dan jasa, dan alokasi dari sumber terbatas diantara
banyak penggunaan alternatif. Ekonomi mikro menganalisa kegagalan
pasar,
yaitu ketika pasar gagal dalam memproduksi hasil yang efisien; serta
menjelaskan berbagai kondisi teoritis yang dibutuhkan bagi suatu pasar persaingan sempurna. Bidang-bidang penelitian yang
penting dalam ekonomi mikro, meliputi pembahasan mengenai keseimbangan umum
(general equilibrium), keadaan pasar dalam informasi
asimetris,
pilihan dalam situasi ketidakpastian, serta berbagai aplikasi ekonomi
dari teori
permainan.
Juga mendapat perhatian ialah pembahasan mengenai elastisitas produk dalam sistem pasar.
B. METODE
PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Tidak dipungkiri, tumbuh dan berkembangnya LKM di Indonesia diilhami oleh keberhasilan
Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal dengan
Grameen Bank (GB). Banyak orang melihat model GB sebagai suatu model pendekatan
yang sukses dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran
perempuan.Melihat kesuksesan GB, banyak pihak yang mereplikasi metode GB
terutama padametode penyaluran pinjaman yang dilakukan kepada pengguna, tetapi
tanpa mereplikasi sistem peningkatan kesejahteraan masyarakatnya yang berupa
penyediaan layanan simpanan kecil dan penyediaan jaminan sosial. Padahal
kesejahteraan masyarakat dalam arti sesungguhnya terletak pada pemilikan
tabungan dan jaminan sosial di masa mendatang
(Anonim, 2007).
Replikasi pola GB di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 1989 yang
diprakarsai Puslitbang Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian yang pengelolaan
selanjutnya dilakukan Yayasan Pengembangan Usaha Mandiri (YPKUM) berlokasi di
Nanggung Jawa Barat. Berikutnya dilakukan di beberapa daerah lain seperti
Tanggerang, di wilayah pasang surut Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa
Timur dan tempat lain yang belum teridentifikasi.
Bagi Indonesia, keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaannya oleh Lembaga Keuangan
Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar
dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002),Sumodiningrat
(2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain.Momentum
pembahasan LKM senantiasa terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, belum
secara spesifik sebagai fasilitasi pembiayaan usahatani.
Menurut Wijono
(2005), LKM di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari
perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan
lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal
dengan karakteristiknya masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi yang
sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk
mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan rumah
tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset
dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang cukup
penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan
(Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung peranan
kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi kemiskinan
ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di Washington
DC, 1997.
Berkembangnya berbagai skema keuangan mikro dan semakin tingginya kebutuhan
akan pengembangan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong terbentuknya
forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM) untuk
mengembangkan keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin secara
lebih luas. Gema PKM disahkan presiden pada tahun 2000, beranggotakan tujuh pemangku
kepentingan yaitu piha pemerintah, lembaga keuangan, LSM, pihak
swasta,akademisi atau peneliti, organisasi massa, serta lembaga pendanaan
(Anonim, 2007).Walaupun di lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh dan
berkembang lembaga keuangan yang terlibat di dalam pembiayaan usaha mikro
dengan beragam bentuk seperti bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR),
modal ventura, program Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), pegadaian
dan sebagainya (Retnadi,2003), namun kesenjangan antara permintaan dan
penawaran layana keuangan mikro masih tetap ada. Di sektor pertanian, maraknya
LKM di masyarakat itu belum serta merta diikuti oleh pemenuhan kebutuhan
permodalan bagi petani. Faktanya, kebutuhan permodalan petani untuk pembiayaan
usahatani selalu menjadi persoalan.Lembaga jasa finansial berupa Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) pada dasarnya sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan
pembangunan ekonomi pedesaan utamanya sebagai lembaga untuk fasilitasi jasa
pembiayaan usahatani. Hal itu didasarkan fakta hampir sebagian besar petani
menghadapi permasalahan adopsi teknologi karena lemah dalam permodalan. Di sisi
lain lembaga perbankan sering tidak bisa diakses oleh petani karena berbagai
faktor.
Data dan Sumber
Data
Makalah
dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa meliputi
Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi
Selatan pada awal tahun 2007. Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM terpilih
dan nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan wawancara
individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner.Jenis data
primer yang dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi organisasi
dan manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan peluang
pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan meliputi:
karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani.Selain
data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi berbagai
dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan kelembagaan keuangan
mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit Lembaga Keuangan Mikro
(LKM).Penganalisisan data secara garis besar dilakukan secara deskriptif
kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP).
Untuk mengungkap perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan
pendekatan pada aspek kekuatan (= strengthen), kelemahan (=weaknesses),
peluang (= opportunity ) dan ancaman (= threat ) atau disingkat
SWOT.
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi
Lembaga Keuangan Mikro
Hasil identifikasi di lapangan menjumpai terdapat tiga kategori bentuk LKM yang berkembang yakni LKM Bank, LKM Koperasi dan LKM bukan Bank bukan Koperasi.Masing-masing LKM menerapkan skema perkreditan yang berbeda. Pola operasional LKM Bank mengikuti pendekatan perbankan umum/ konvensional, LKM Koperasi menerapkan pola simpan pinjam sedangkan LKM bukan Bank dan Bukan Koperasi pola operasionalnya beragam.Skema perkreditan LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) tersebut meliputi replikasi pola Grameen bank, Gabungan Kelompok Tani dan Unit Permodalan Pengelola Permodalan Kelompok Petani (UPPKP). Pengelolaan keuangan oleh Gabungan Kelompok Tani dan UPPKP pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem bergulir. Capital yang digunakan bersumber dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Secara faktual,
pelayanan LKM contoh di lokasi pengkajian telah menunjukkan keberhasilan. LKM
yang mereplikasi pola GB di Nanggung Bogor-Jawa Barat yang dikelola YPKUM, LKM
UMKM di Tangerang-Banten yang dibina IPB, telah menunjukan keberhasilan,
ditandai oleh beberapa indikator seperti dikemukakan Cristina dalam Syukur
(2002). Dampak keberhasilan dilihat dari beberapa perubahan antara lain adanya peningkatan
partisipasi pendidikan anak-anak, peningkatan pendapatan pengusaha warungwarung
kecil, dan peningkatan aset rumah tangga.Dari sisi kelembagaan, indikator
keberhasilan ditunjukkan oleh perkembangan jumlah peserta dan perkembangan aset
serta dana yang terserap. Di LKM yang dikelola YPKUM Bogor-Jawa Barat misalnya,
dana yang sudah tersalurkan sejak tahun 1989 sampai bulan Maret 2007 mencapai
Rp 12 Milyar dengan kecenderungan meningkat,jumlah tabungan anggota mencapai
2,6 Milyard. Non Perfomance Loan (NPL), yang menunjukkan rasio
tunggakan terhadap jumlah pinjaman relatif kecil (1,9 %), jauh dibawah batas
toleransi (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan cukup
bermanfaat bagi masyarakat sebagai tambahan modal untuk usaha
produktif.Buktinya, mereka mampu membayar angsuran kredit dengan lancar.Wilayah
kerja, jumlah nasabah dan jumlah pinjaman juga terus meningkat. Pada awalnya,
jumlah nasabah hanya 10 orang pada 1 desa dan 1 kecamatan. Menginjak bulan Maret
2007 jumlah nasabah meningkat pesat mencapai 5880 orang, tersebar di 12 kecamatan
dan 83 desa. Ada sebanyak 1491 kumpulan (kelompok kecil) yang terdiri dari 5 orang)
dan 394 rembug pusat (terdiri dari 2 - 6 kumpulan). Jumlah pinjaman per orangan
pun mengalami peningkatan cukup tajam, pada awalnya besarnya pinjaman anggota
hanya sebesar Rp 200.000, sekarang sudah ada yang boleh meminjam sebesar Rp 3
juta/th dengan bunga pinjaman 2,5 % per bulan atau 30% per tahun.Keberhasilan
LKM di Tangerang teridentifikasi dari kemampuan LKM memberikan sumbangan
terhadap PAD yang volumenya cenderung meningkat. Jika pada tahun 2006 menyetor
PAD sebesar Rp 289 Juta, maka setoran untuk tahun 2007 telah ditargetkan akan mencapai
Rp 600 juta. Modal awal LKM diperoleh dari Pemda Kabupaten Tangerang semenjak
2004, dan terus didukung Pemda sampai tahun 2007 sehingga total modal sampai
tahun 2007 mencapai Rp 3,26 milyard.
Dari aset tabungan dan cash money menunjukkan LPP-UMKM telah
memiliki aset yang memadai. Tabungan yang dimiliki sampai tahun 2007 tercatat
sebesar Rp 7,5 milyar dengan total piutang yang beredar di nasabah sebesar 5,7
milyar. Sedangkan cash money berupa aktiva lancar yang tersedia sebanyak
Rp 1,3 milyar. Perputaran uang cukup besar, sebagai gambaran total penerimaan
yang diterima LPP-UMKM per bulan sekitar Rp 230juta. Setelah dikurangi biaya
operasional, lembaga ini masih mendapatkan keuntungan Rp100 juta per bulan.
Dari sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat, meskipun awalnya digerakkan
oleh segelintir orang namun dalam perkembangannya mengalami peningkatan pesat.
Sumberdaya manusia
yang terlibat dalam kepengurusan LKM tercatat 53 orang karyawan (46 laki-laki
dan 7 perempuan) dengan total wilayah layanan mencapai 7 kecamatan di Kabupaten
Tangerang.Tingkat keberhasilan yang dicapai LKM tersebut, agak berbeda dengan
LKM sejenis yang khusus melayani kegiatan usahatani seperti LKM Prima Tani di
Jatim, Sulsel dan NTB. Pada LKM yang disebutkan terakhir, kendalanya dihadapkan
pada dukungan permodalan dan keberlanjutan kegiatan LKM terkait dengan aspek
kaderisasi dan kapabilitas pengurus LKM.
Keberhasilan pengelolaan keuangan oleh UPPKP di Gunung Kidul dicirikan oleh
semakin meningkatnya volume uang beredar di kelompok tani, dan semakin
lancarnya tingkat pengembalian pinjaman. Kondisi tersebut jauih lebih baik
dibandingkan dengan ketika pengelolaan keuangan kelompok ini masih dilakukan
institusi penyalurnya (Dinas Teknis terkait dengan Pertanian). Sementara itu di
Sleman, penyaluran pembiayaan usahatani yang dilakukan secara bergulir juga
menunjukkan keberhasilan, ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan
anggota kelompok dalam mengembalikan pinjaman sehingga volume pinjamannya juga
lebih meningkat lagi. Kemampuan tersebut merupakan cerminan efektifnya pinjaman
dalam penggunaannya di sektor usahatani.Hasil studi Holloh dan Prins (2006)
menunjukkan bahwa disamping ada LKM yang berhasil, ada pula yang kurang
berhasil bahkan mandeg (stagnan). LKM yang pesat pertumbuhannya adalah BPR yang
beroperasi di daerah perkotaan dan semi-perkotaan,LPD (Bali) dan BMT (terutama
di Jawa Tengah & Jawa Timur). Sedangkan yang mengalami kemandegan misalnya
keluarga LKM seperti LDKP (tidak termasuk LPD) dan BKD. Berbagai embrio LKM
yang ditimbulkan proyek-proyek seperti UPK/D belum menunjukkan kemampuan untuk
menghimpun simpanan dan menjalankan kegiatan operasionil secara
berkesinambungan karena terkait dengan aspek legalitas.
Faktor Kritis Pengelolaan LKM
Keunggulan usaha
mikro yang sudah teruji sampai saat ini adalah resistensinya terhadap gejolak
krisis ekonomi dan pengusaha usaha mikro biasanya merupakan debitor yang patuh
membayar kewajiban kreditnya. Di dalam pengelolaannya dihadapkan pada faktor
kritis yakni yang berkenaan dengan kelembagaan dan pengguna/nasabah.Dari sisi
kelembagaan, permasalahan terkait dengan aspek sustainabilitas/keberlanjutan.
Keberlanjutan LKM dipengaruhi oleh: (a) kapabilitas sumberdaya manusia (SDM)
pengelola LKM dan (b) dukungan seed capital. Sementara itu diperlukan
jugadukungan faktor eksternal antara lain berupa payung hukum bagi upaya
pengembangan LKM. Rancangan Undang-undang LKM masih dalam perdebatan, namun
menurut analisis para pakar ada kehawatiran bahwa UU LKM nantinya malah
membatasi lingkup layanan LKM kepada masyarakat.Dari sisi nasabah/pengguna,
aspek yang menjadi faktor kritis terkait dengan karakteristik individu, jenis
usaha dan kelayakan usahanya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa usaha di
sektor pertanian kurang dilirik oleh LKM, dengan alasan: berisiko tinggi,
perputaran cash flow lambat dan lain-lain. Dari pengalaman YPKUM Nanggung dan
LPP UMKM Tangerang diketahui proporsi dana yang dialokasikan untuk mendukung
kegiatan di sektor pertanian tidak lebih dari 5 % dari total pagu kredit
LKM.Sebagian besar dana LKM disiapkan untuk mendukung usaha di luar sektor
pertanian.Oleh karena itu tidak mengherankan jika akhirnya muncul wacana untuk
membentuk dan mengembangkan LKM sendiri guna mendukung usaha di sektor
pertanian.
Perspektif LKM
Pertanian
Belajar dari
keberhasilan pengelolaan LKM untuk diterapkan dalam membangun LKM pertanian
pada dasarnya dapat saja dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola yang
sudah berkembang dengan melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen
Bank,maupun pola UPPKP serta pola lainnya dapat dijadikan acuan salah satu
alternatif skim perkreditan untuk diaplikasikan untuk mendukung usahatani,
namun dengan beberapa penyesuaian terkait dengan karakteristik usahatani
sebagai berikut:
(1). Pendekatan
kelompok.
Makna pendekatan
kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral).
Kelompok diselaraskan dengan kelompok tani yang sudah eksis beranggotakan
antara 20 – 30 orang.
(2). Perluasan
sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna
kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu juga melibatkan
kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok tani adalah kaum bapak dan
yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologiusahatani.
(3). Seleksi calon
pengguna kredit
Indikator seleksi
disesuaikan dengan keragaan usahatani, salah satunya yang penting
dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha (on farm dengan off farm dan
non farm).
(4). Volume Pagu
Kredit
Volume pagu kredit
minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan biaya usahatani dan realisasi
pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola tanam. Studi kelayakan usahatani
menjadi acuan. Tiap orang kebutuhannya akan berbeda.
(5). Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman
terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu
patokannya adalah
bunga komersial sesuai pasar.
(6). Waktu
pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau setelah panen. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah panen (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan setelah panen, misal 70% berbanding 30%.
(7). Pendampingan
dan Monitoring
Pendampingan dan
monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah selama proses
pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya.
(8). Pelatihan
Pelatihan
diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus meningkatkan
kapabilitas manajemen LKM
Langkah Strategis
Inisiasi LKM
Strategi utama
untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di sektor pertanian selain
harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional hendaknya
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain
terkait dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun
terakhir.Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada mekanisme
yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah kegiatan yang
mengarah pada operasionalisasi kegiatan.
(2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh pendamping
lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas pengembangan pertanian.
(3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak
melakukan kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada
keragaan organisasi kelompok tani yang difokuskan pada kondisi kinerja
organisasi kelompok tani
(4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha kelompok
(penyediaan seed capital).
(5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan
pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan dana.
(6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan
(sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau
aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
(7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus
dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada nasabah agar usahanya
memberikan nilai tambah yang tinggi.
C.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Keberadaan LKM diakui
masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi
aktivitas perekonomian yang
selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional;
(2) Secara faktual pelayanan
LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun
keberhasilannya masih bias pada
usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim
perkreditan LKM untuk usahatani
belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh
relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM;
(3) Faktor kritis dalam
pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek
legalitas kelembagaan,
kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan
ekonomi usaha tani,
karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa layanan LKM.
Saran
Untuk memprakarsasi penumbuhan
dan pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan
kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,dukungan penguatan modal dan
pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kebijakan dan
Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan
Mikro.
http://www.profi.or. id/ind/.
Budiantoro. S. 2003. RUU
Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga
Keuangan Dari
Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8.
www.ekonomirakyat.org.
Djoko Retnadi. 2003. Kunci
Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian
Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003
Holloh, D dan Hendrik Prins.
2006. Pengaturan/Peraturan, Pengawasan & Dukungan Bagi
Lembaga Keuangan
Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi.
http://profi.or. id/ind/downloads/ThirdWindowsummary_MFIstudy_translation_Ind_
.pdf
Martowijoyo, S., 2002. Dampak
Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap
Kinerja Lembaga
Pedesaan. Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat.
www.ekonomirakyat.org
Sumodiningrat, G. 2003. Peranan
Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi
Kemiskinan Terkait
Dengan Kebijakan otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal
Ekonomi Pertanian.
www.ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis
Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit
Rumah Tangga
Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB.
Syukur, M., 2006. Membangun
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang
Berkelanjutan:
Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1 Nomor 1.
Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan
Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar
Sistem Keuangan
Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan.Kajian Ekonomi dan
Keuangan, Edisi Khusus.
http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian / wiloejo-1.pdf