KARYA TULIS ILMIAH / PRODUKSI BIODIESEL DARI MIKROALGA BOTRYOCOCCUS BRAUNII UNTUK KETAHANAN ENERGI NASIONAL
KARYA TULIS ILMIAH
PRODUKSI
BIODIESEL DARI MIKROALGA BOTRYOCOCCUS
BRAUNII UPAYA MENJAGA KETAHANAN ENERGI NASIONAL
Disusun oleh:
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
Endra Nugraha, Rapli Alpria
Rakasiwi, Neneng Ade Mekah Sari Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak
Kebutuhan
energi yang semakin
meningkat menyebabkan sumber
energi semakin berkurang. Hal ini
mendorong pencarian sumber
energi terbarukan untuk
mengantisipasi kelangkaan
tersebut. Pada saat ini bahan bakar
nabati (BBN) yang tersedia mayoritas terdiri dari bioetanol yang dihasilkan
dari molase atau pati jagung dan biodiesel yang dihasilkan dari tumbuhan
penghasil minyak termasuk kedelai yang mampu mengurangi efek buruk pembakaran
bahan bakar fosil. Penggunaan tumbuhan-tumbuhan tersebut untuk menghasilkan
bahan bakar dikhawatirkan akan menimbulkan masalah ketahanan pangan..
Salah satu sumber
energi baru ialah
mikroalga yang diharapkan mampu menjadi pendekatan alternatif sumber
bahan bakar nabati tanpa perlu mempengaruhi kestabilan pertanian dunia. Mikroalga
memiliki variasi jenis
yang tinggi dan memiliki
potensi besar yang
dapat dikembangkan sebagai
bahan pangan dan
produk kimia lainnya. Mikroalga
sedang dikembangkan sebagai
penghasil biodiesel yang
dapat diandalkan
menggantikan bahan bakar
minyak yang bersumber
dari fosil. Beberapa
hasil penelitian melaporkan bahwa
spesies mikroalga seperti
Botryococcus braunii
dapat menghasilkan kandungan minyak
sebesar 75% berat
kering. Langkah-langkah dalam
menghasilkan minyak dari B. braunii yang
meliputi metode kultur walne,
persiapan biomassa mikroalga, pemanenan
biomassa, ekstraksi minyak dan
transesterifikasi. Kandungan minyak
dari B. braunii sebagian besar
terdiri atas hidrokarbon
(±15 - 76% dari berat kering),
yang disebut botryococcene. Jenis
hidrokarbon ini sangat
potensial sebagai sumber
energi biodiesel. Sehingga
perkembangan biodiesel dapat menjaga ketahanan energi di Indonesia.
Kata Kunci : Biodiesel, Botryococcus
Braunii, Hidrokarbon, Mikroalga
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa dekade
terakhir permintaan Bahan
Bakar Minyak (BBM) mengalami peningkatan
Menurut Agus (2000)
total suplai BBM,
dikarenakan BBM yang berasal
dari fosil semakin
berkurang. berdasarkan data
Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional 2005 – 2025 yang
dikeluarkan oleh Departemen
Energi dan Sumber
Daya Mineral (DESDM)
pada tahun 2005,
cadangan minyak bumi di Indonesia
pada tahun 2004
diperkirakan akan habis
dalam kurun waktu
18 tahun dengan
rasio cadangan/produksi pada tahun
tersebut. Sedangkan gas
diperkirakan akan habis
dalam kurun waktu
61 tahun dan
batubara 147 tahun,
seperti yang diperlihatkan Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1 . Cadangan Energi Fosil
Isu perubahan iklim global
telah melatarbelakangi negara-negara industri
maju untuk melakukan upaya
diversifikasi energi dengan
menciptakan sumbersumber energi
baru dan lebih
meningkatkan penggunaan energi
surya, air, angin, serta sumber-sumber energi
terbarukan (renewable) lain
yang ramah lingkungan. Salah satu bahan baku penghasil biodiesel
yang cukup potensial
adalah mikroalga. Berbagai keuntungan untuk pengembangan
mikroalga sebagai sumber energi alternatif telah dikemukaan oleh Verma et al.,
(2010) diantaranya yaitu: a). Memiliki struktur sel yang
sederhana dan kemampuan
untuk mengendalikan sel tanpa mengurangi produktifitasnya, b). Kemampuan berfotosintesis sangat tinggi, sekitar 3–8% sinar
matahari mampu dikonversikan
menjadi energi dibanding tanaman
tingkat tinggi lainnya yang hanya sekitar
0,5%, c). Memiliki siklus hidup
yang pendek (±1–10 hari),
d). Kemam puan untuk mensintesis lemak
sangat tinggi (±
40–86% berat kering biomassa),
e). Kemampuan bertahan
pada kondisi lingkungan yang ekstrim
(salinitas tinggi atau lingkungan yang
tercemar), f). Tidak
banyak membutuhkan pupuk dan
nutrisi, g). Tidak bersaing dengan produk pangan.
Banyak penelitian
yang mengkaji keuntungan biodiesel dibandingkan
dengan bahan bakar konvensional (fossil fuel). Menurut Hoffman (2003) dalam Gao et al. (2009), perbedaan yang
mendasar dalam penggunaan bahan
bakar biodiesel dan fossil fuel adalah
kemampuan dalam melumasi
mesin. Bahan bakar konvensional (fossil
fuel) membutuhkan sulfur untuk
melumasi mesin sedangkan biodiesel
tidak membutuhkan kandungan
sulfur, karena itu biodiesel lebih ramah lingkungan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang dan permasalahan
di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut
:
1. Bagaimana potensi
mikroalga Botryococcus Braunii sebagai
bahan baku biodiesel?
2. Bagaimana proses media kultur mikroalga Botryococcus Braunii ?
3. Bagaimana proses produksi
biodiesel dari mikroalga Botryococcus
Braunii?
4. Bagaimana potensi
biodiesel mikroalga Botryococcus Braunii untuk menjaga ketahanan energi nasional?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui potensi
mikroalga Botryococcus Braunii sebagai
bahan baku biodiesel.
2. Menjelaskan penerapan
media kultur mikroalga Botryococcus
Braunii yang efektif.
3. Mengetahui proses produksi biodiesel dari mikroalga Botryococcus Braunii.
4. Mengetahui potensi biodiesel mikroalga Botryococcus
Braunii untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah
:
1. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai potensi mikroalga botryococcus
braunii sebagai bahan baku biodiesel dalam pencarian energi alternatif
2. Bagi pemerintah
Sebagai rujukan
informasi dan referensi
bagi pemerintah dalam
upaya pengambilan kebijakan mengenai pengelolaan potensi mikroalga di
Indonesia.
3. Bagi Akademisi
Memberikan informasi
dan referensi terkait
potensi mikroalga botryococcus braunii sebagai bahan baku
biodiesel yang efektif untuk menjaga ketahanan energi nasional.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Mikroalga pada
umumnya merupakan tumbuhan
renik berukuran mikroskopik (diameter
antara 3-30 ÎĽm) yang termasuk
dalam kelas alga
dan hidup sebagai koloni maupun
sel tunggal di seluruh perairan
tawar maupun laut.
Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler
atau multiseluler tetapi
belum ada pembagian fungsi
organ yang jelas
pada sel-sel komponennya. Hal
itulah yang membedakan mikroalga dari
tumbuhan tingkat tinggi
(Romimohtarto, 2004).
Mikroalga diklasifikasikan menjadi
em pat kelompok antara lain:
diatom (Bacillariophyceae), alga
hijau (Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan
alga biru (Cyanophyceae) (Isnansetyo
& Kurniastuty, 1995). Eryanto
et al. (2003) dalam Harsanto (2009)
menyatakan bahwa penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar (limpoplankton) dan air laut (haloplankton). Berdasarkan
distribusi vertikal di perairan,
mikroalga dikelompokkan menjadi
tiga yaitu hidup di zona euphotik (ephiplankton), hidup di
zona disphotik (mesoplankton), hidup
di zona aphotik (bathyplankton) dan
yang hidup di
dasar perairan/ bentik (hypoplankton).
Mikroalga merupakan kelompok organisme yang
sangat beragam dan
memiliki berbagai potensi
yang dapat dikembangkan sebagai
sumber pakan, pangan, dan bahan
kimia lainnya. Kandungan senyawa pada
mikroalga bervariasi tergantung
dari jenisnya, faktor lingkungan dan nutrisinya. Pada Spirulina platensis yang dikultur dengan
menggunakan media Walne kandungan kadar
protein, karbohidrat, dan
lemak berturut-turut adalah 50,05%;
15,48%; 0,5% (Widianingsih et
al., 2008). Kandungan lemak ratarata sel mikroalga bervariasi antara 1–70%
tetapi dapat mencapai 90% berat
kering dalam kondisi tertentu (Spolaore
et al., 2006). Beberapa jar ingan sel
mikroalga dapat dipergunakan
dalam pembedaan dan klasifikasi sesuai divisinya. Menurut Graham
& Wilcox (2000),
ada empat karakteristik yang
digunakan untuk membedakan divisi
mikroalga yaitu tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella,
tipe komponen fotosintesa, dan
jenis pigmen sel. Selain itu, morfologi sel dan sifat sel yang
menempel baik yang
berkoloni ataupun filament merupakan
informasi yang dapat
digunakan untuk
mengklasifikasikan masing-masing
kelompok mikroalga.
Selain dari karakteristik
morfologi (morphological characteristics),
komposisi biokimia dan asam lemak
pada setiap sel
mikroalga dapat juga
digunakan sebagai pembeda dari
masing-masing spesies. Menurut Li
& Watanabe (2001),
karakter-karakter taksonomi
seperti wujud filamen
dan sel akinete bersifat tidak mutlak untuk
identifikasi karena akinete adakalanya tidak
ada dan wujud filamen mungkin bias berubah karena lingkungan pada kondisi kultur.
Mikroalga sebagai
mikroorganisme fotosintesis telah
diteliti menjadi alternatif
sebagai pengganti komoditas
tanaman darat sebagai
sumber penghasil minyak
(Chisti,2007). Dibandingkan dengan
tanaman darat penghasil
minyak, mikroalga memiliki
produktivitas minyak yang lebih tinggi per satuan luas lahan yang
digunakan (Gambar 1).
Gambar
1. Yield minyak dari
tanaman darat dan
mikroalga per satuan
luas area yang digunakan
2.2 Botryococcus
Brauni
Salah satu spesies mikroalga yang cukup dikenal sebagai bahan
biodiesel adalah Botryococcus braunii. B. braunii
merupakan tanaman sel
tunggal berwarna hijau, banyak
dijumpai di perairan danau, tambak ataupun perairan
payau sampai laut
(Metzger & Largeau,
2005). Kandungan klorofil (zat hijau daun)
B. braunii mencapai
±1,5–2,8%, terdiri dari klorofil a, b, dan c, sehingga di permukaan perairan tampak berwarna hijau-coklat
kekuningan (Kabinawa, 2008). B.
braunii memiliki inti sel dengan ukuran ±15–20 µm dan berkoloni,
bersifat non motil
dan setiap pergerakannya sangat
dipengaruhi oleh arus perairan (Kabinawa, 2008).
Gambar 2. Botryococcus
braunii (CFTRI-Bb1) (Dayananda et al., 2007).
2.3 Biodiesel
Biofuel adalah bahan bakar
padat, cair, ataupun gas yang merupakan derivasi atau turunan dari biomassa
organisme (Patil et al, 2008; Panggabean et al, 2010). Salah satu biofuel yang berasal dari biomassa
organisme adalah biodiesel. Biodiesel adalah fatty acid methyl ester (FAME) yang berasal dari minyak nabati dan
lemak/lipid hewani. Biodiesel yang berasal dari proses transesterifikasi ini
dapat dipakai secara langsung ataupun dicampur dengan bahan bakar diesel lain
untuk digunakan di dalam mesin diesel (Panggabean et al, 2010).
Biodiesel (metil ester)
dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi/transesterifikasi trigliserida.
Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari suatu ester dengan
alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis menggunakan alkohol.
Metanol lebih umum digunakan karena harganya lebih murah, walaupun tidak
menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis alkohol lainnya seperti etanol.
Transesterifikasi merupakan
suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan agar
dihasilkan biodiesel (metil ester) maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah
berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan biodiesel
(metil ester). Proses pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit termasuk
proses yang sederhana dengan komposisi minyak kelapa sawit 87%, katalis satu
persen dan alkohol 12%. Komposisi di
atas akan menghasilkan biodiesel dari minyak kelapa sawit 86%, alkohol empat
persen, gliserin sembilan persen dan endapan bahan anorganik 1% (Panggabean et al, 2010).
2.4 Ketahanan Energi Nasional
Indonesia sendiri
saat ini mulai
dirisaukan dengan issu
habisnya cadangan minyak
bumi dalam 20
tahun mendatang. Kondisi
ini mendorong Pemerintah
untuk membuat energi roadmap untuk mengatasi krisis energi
tersebut. Dalam UU No 5/2006
disebutkan bahwa pemerintah
menargetkan pada tahun
2025 kebutuhan energi
nasional akan disediakan
oleh energy baru
dan terbarukan (EBT)
sebanyak 17%, sedangkan
sisianya masih tergantung pada
minyak 20%, gas 30% dan batubara 33%. Bahkan melihat potensi yang ada
melalui visi 25/25,
nilai pemanfaatan EBT
ini ditingkatkan menjadi
25%. Bioenergi termasuk energy dari biomasa diharapkan mampu memenuhi 5%
dari EBT yang telah ditetapkan.
Pengembangan energi baru
dan terbarukan merupakan
salah satu kegiatan penunjang kebijakan energi nasional
melalui intensifikasi dan diversifikasi energi.
Salah sau upaya
yang dapat dilakukan
adalah dengan mencari
sumber energi baru
selain energi fosil, tentunya energi yang dapat digunakan secara
berkelanjutan.
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Pendekatan Penulisan
Pendekatan karya tulis ini
didasari dengan adanya permasalahan sebagai berikut:
1. Potensi mikroalga botryococcus baraunii di Indonesia
sangat melimpah.
2. Kurangnya informasi
dan pengetahuan masyarakat
mengenai pemanfaatan mikroalga sebagai bahan biodiesel.
3. Kondisi energi di Indonesia
semakin berkurang sehingga dibutuhkan energi terbarukan.
3.2 Sumber Penulisan
Jenis data
yang digunakan dalam
penulisan karya tulis
ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil observasi
di lapangan dan wawancara
dengan pihak-pihak terkait, yaitu peneliti dibidang pikologi dan
dosen . Data sekunder bersumber dari jurnal ilmiah, makalah, skripsi dan
media internet dengan
tetap mencantumkan sumber data.
1.3 Sasaran Penulisan
Sasaran karya tulis ini
yaitu untuk memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia bahwa potensi
mikkroalga terutama spesies botryococcus
braunii sangat melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel
untuk menjaga ketahanan energi nasional.
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Potensi Mikroalga Botryococcus
Braunii sebagai Bahan Baku Biodiesel
Spesies B.
braunii memiliki kandungan hirokarbon yang sangat tinggi yang mencapai
±15–76% dari berat kering (Metzger et al., 1985). Hidrokarbon rantai panjang dalam bentuk minyak atau triterpen tak
bercabang dari spesies ini dikenal
dengan nama botryococcene (Metzger
& Largeau, 2005; Rao et
al., 2007) sangat potensial sebagai sumber
energi atau biodiesel (Tabel 2). Menurut Dayananda et al. (2005) produksi
hidrokarbon dari B. braunii berkisar
antara 2–8% (berat
kering) tergantung dari kondisi
kultivasi selama proses pemeliharaannya.
Tabel 2. Komposisi kandungan minyak pada beberapa spesies mikroalga
Sumber : Banerjee et al., 2002; Gouveia &
Oliveira, 2009
4.2 Proses Kultur Mikroalga Botryococcus
Braunii
Kultur biomassa B. braunii pada prinsipnya tidak
berbeda jauh dengan
kegiatan kultur mikroalga spesies lainnya.
Pada kegiatan kultur
mikroalga diperlukan beberapa tahapan
kultivasi indoor dan
semi outdoor sebelum dilakukan
kultur massal di system outdoor.
Kultivasi indoor dapat dilakukan
di media padat (agar). Tahapan selanjutnya adalah kultur di media
cair yang diawali
dengan mengkultur mikroalga dalam
tabung reaksi steril
dan diberi pupuk. Selanjutnya apabila
kepadatan mikroalga dalam tabung meningkat, kultur dapat dipindahkan dalam media dengan
volume lebih besar
(100–300 mL). Setelah satu
minggu kultur dapat dipindahkan ke volume yang lebih besar lagi (500–1000 mL). Demikian seterusnya kultur
dilakukan secara bertahap dari
volume kecil ke volume yang lebih
besar yaitu sampai 5000 mL. Kultur
semi outdoor menggunakan
wadah kultur dengan
kapasitas 40 L
atau 100 L
dengan pencahayaan yang tidak terlalu
kuat. Kultur dapat dilanjutkan dengan
wadah yang kapasitasnya 1000 L. Selanjutnya dengan volume yang lebih besar
yaitu 10–1000 m3 yang dikenal
dengan kultur skala massal.
Mikroalga B.
braunii dapat tumbuh dalam
berbagai media yang mengandung cukup unsur
hara makro seperti N, P, K dan unsur
mikro lainnya dalam jumlah
relatif sedikit yaitu besi (Fe), tembaga (Cu), mangan (Mn), seng (Zn),
silicon (Si), boron (B), molybdenum (Mo), vanadium (V), dan
kobalt (Co) (Manahan,1984; Chumaidi et al.,
1992). Pupuk sebagai
factor penunjang pertumbuhan sel
secara normal memerlukan minimal
16 unsur hara di dalamnya dan
harus ada 3 unsur mutlak, yaitu nitrogen, fosfor, dan kalium (Adhikari,
2004; Higgins, 2004;
Manahan,1984).
Seperti jenis
mikroalga lainnya, budidaya
B. braunii membutuhkan air, cahaya, CO2 dan bahan-bahan anorganik
sebagai nutrisi. Selain
itu, peningkatan produktif
itas budidaya B. braunii dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pH, suhu, kadar CO2,
cahaya, dan salinitas
yang optimum (Banerjee et al.,
2002). Salinitas merupakan factor lingkungan
yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan komponen biokimia mikroalga
laut (Ghezelbesh et al., 2008).
Menurut Susilowati & Amini (2009), B. braunii
dapat tumbuh pada kisaran kadar
garam 0–25 ppt dan tumbuh subur pada 10
ppt. Dalam penelitian lebih
lanjut dikemukakan bahwa kelimpahan dan laju
pertumbuhan B. braunii tertinggi terjadi
pada salinitas 5 ppt yaitu dengan kelimpahan 6,9 log sel/mL
dan laju pertumbuhan 1,9/hari. Untuk memacu peningkatan pertumbuhan sel dan kandungan minyaknya, B. braunii
dikultur didalam bioreaktor dengan penambahan
CO2 pada skala laboratorium. Sedangkan kultur massal B. braunii
dilakukan di luar
ruangan atau ditambak
dengan penyinaran cahaya matahari langsung untuk proses sintesis.
Gambar 4. Media kultivasi
biomassa mikroalga: (a) dengan bioreaktor
(Anon., 2007); (b) kultur
massal mikroalga pada bak beton.
4.3 Produksi Biodiesel dari Mikroalga Botryococcus
Braunii
4.3.1 Biomassa B. Braunii
Pemanenan mikroalga
seringkali masih menjadi kendala. Pada industri
komersial, panen biomassa yang terbaik
dapat dicapai antara 0,3–0,5 g sel kering/L atau 5 g sel kering/L; hal ini membuat panen
mikroalga sangat sulit dan mahal (Wang
et al., 2008). Hulteberg et al. (2008),
mengemukakan bahwa panen
pada mikroalga spesies
B. braunii paling
efisien menggunakan flokulan kimia
atau modif ikasi penggunaan
flokulan kimia, karena spesies
ini memiliki ukuran sel <10 µm.
Penggunaan flokulan kimia mampu mengendapkan biomassa sebanyak 80%
(Andrews et al., 2008). Ludwig
(2006) melaporkan bahwa penggunaan flokulan mampu menghasilkan
biomassa Sebesar 1–3% dan biaya
operasional yang murah. Flokulan
kimia dapat digunakan dengan menambah pH pada
media panen, misalnya
penambahan potassium
hidroksida yang mampu menambah pH
sampai mencapai nilai
11 dan natrium hidroksida menambah pH menjadi 9
(Hulteberg et al., 2008).
Pemanenan biomassa B.
braunii dilakukan dengan modifikasi
metode flokulan yaitu metode pengendapan dengan menggunakan
bahan kimia NaOH dengan
perbandingan 1:1 (1 L mikroalga: 1 g NaOH) (Amini, 2005b). Pengendapan
dilakukan selama 24
jam, kemudian baru dilakukan
pemisahan biomassa dan cairan jernihnya. Selanjutnya biomassa dapat
dicuci dengan air tawar beberapa kali untuk menghilangkan kandungan
garamnya, kemudian dilakukan
penirisan menggunakan kain
satin selama 24
jam. Pada metode ini hasil
yang diperoleh berkisar
antara 3 g biomassa basah/L. Pengeringan
biomassa dilakukan dengan sinar
matahari selama 3–4 hari tergantung
cuaca dan selanjutnya biomassa bisa disimpan di suhu chilling
untuk nantinya dilakukan
proses ekstraksi. Pada Gambar
4 dapat dilihat
panen B. braunii dengan
menggunakan flokulan.
Gambar 5. Panen biomassa mikroalga dengan flokulan
4.3.2 Ekstraksi Minyak dari Mikroalga
Menurut McMichens
(2009) metode ekstraksi
minyak dari mikroalga mengguanakan
metode pelarut kimia minyak
dari alga dapat
di ambil dengan menggunakan larutan
kimia, misalnya dengan menggunakan benzena,
ether, dan heksana. Penggunaan larutan
kimia heksana lebih
banyak digunakan sebab harganya tidak terlalu mahal. Menurut Amini (2005b),
larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstraksi
minyak dari alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres dengan tahapan sebagai berikut: setelah proses ekstraksi
dengan metode pengepresan, ampas (pulp)
biomassa dicampur dengan
larutan heksana untuk mengambil
sisa minyak alga. Proses
selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak
dan heksana. Untuk
memisahkan minyak dan heksana
dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan
larutan kimia dapat mengekstraksi lebih
dari 95% minyak
yang terkandung dalam biomassa
(McMichens, 2009).
4.3.3 Transesterifikasi
Minyak alga yang telah
diekstrak dan sudah dipisahkan dari air, dilakukan proses transesterifikasi
dengan mula-mula menjaga suhu minyak tersebut 60oC. Selanjutnya
ditambahkan campuran metanol dan katalis NaOH 0,5%, di mana banyaknya methanol
berdasarkan rasio molar 6:1 yaitu antara methanol dengan trigliserida , dan
selanjutnya dikondisikan selama 0,5-1 jam. Selanjutnya biodiesel dipisahkan
dari fraksi gliserol dengan cara ageing pula
selama 3-5 jam, kemudian dinetralisir menggunakan asam asetat (CH COOH) 0,01%
yang akan mengikat sisa katalis (NaOH) yang masih terdapat pada biodiesel,
membentuk endapan berwarna putih sehingga mudah dipisahkan. Tahap berikutnya,
dilakukan dilakukan pencucian terhadao biodiesel menggunakan air hangat hingga
pH air cucian menjadi netral (Roliadi et
al, 2012).
Gambar 6. Proses transesterifikasi biodiesel (Zhang et
al., 2003)
4.3.4 Diagram Alir Produksi Biodiesel
Gambar 7. Diagram alir produksi Biodiesel
dari Biomassa Mikroalga
4.4
Potensi
Biodiesel Mikroalga Botryococcus Braunii untuk Menjaga Ketahanan Energi Nasional
Minyak biodiesel dari
B.braunii merupakan isoprenoid triterpenes dengan rumus Cn H2n-10
turunan dari asam lemak. Nilai n mempunyai kisaran angka 30–37 sebagai
biodiesel dari unsur
hydrocracking gasoline type
hydrokarbon (Frenz et al.,1989).
Kandungan hidrokarbon pada B. braunii seperti pada Tabel 3 (Hillen et
al.,1982).
Tabel 3. Kandungan hidrokarbon B. braunii
Sumber: Hillen et al., 1982
Biodiesel sebagai
sumber energi terbarukan
memiliki beberapa keuntungan,
antara lain (i) bahan baku biodiesel dapat diperbarui (renewable), sehingga
kontinuitasnya dapat terjamin (ii)
biodiesel lebih aman dalam penyimpanan, (iii) mampu
melindungi mesin dan
dapat digunakan pada
semua mesin diesel tanpa atau dengan modifikasi.
Biodiesel dapat mengurangi emisi
udara beracun dan
bersifat mudah terurai atau biodegradable (Knothe et al.,
2006). Penggunaan biodiesel sebagai
bahan bakar memiliki keuntungan antara lain
tidak memerlukan modifikasi
mesin, memiliki angka setana
tinggi, ramah lingkungan, memiliki daya pelumas
tinggi, aman dan tidak beracun (Sudrajat & Setiawan,
2003). Selain itu juga,
menurut Prihandana & Roy
(2006) emisi karbon monoksida (CO) yang
dihasilkan cukup rendah.
Perbandingan emisi biodiesel dengan
petrodiesel pada mesin
diesel dapat dilihat
pada Tabel 4. Persyaratan mutu biodiesel
di Indonesia sudah dibakukan dalam
SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan
diterbitkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) tanggal
22 Februari 2006.
Tabel 4. Perbandingan emisi biodiesel, campuran biodiesel 10%, dan petrodiesel
Sumber: Reksowardojo et al., (2005).
Gambar 5
menunjukkan hasil penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan kharakteristik alga biodiesel sesuai dengan
standard diesel (Hadiyanto et al, 2012).
Gambar 8. Biodiesel dari mikroalga
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kondisi iklim
tropis Indonesia dengan
cahaya matahari sepanjang tahun
sangat sesuai untuk kehidupan mikroalga
dan pengembangannya.
Mikroalga, yang tidak
bersaing dengan produk pangan, sangat
prospektif dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia.
Salah satunya adalah spesies B.
braunii yang sangat
berpotensi sebagai bahan baku
biofuel. Kultur mikroalga
menggunakan metode walne yang lebih
efektif. Proses produksi biodiesel B.
Braunii diawali biomassa mikroalga, ekstraksi minyak, pengepresan,
destilasi, dan transesterifiikasi untuk mendapatkan biodiesel murni. B. Braunii memiliki hidrokarbon rantai panjang dalam
bentuk minyak atau
triterpen tak bercabang dari
spesies ini dikenal
dengan nama botryococcene sangat potensial
sebagai sumber energi atau
biodiesel. Perkembangan biodiesel
ini mampu menjaga ketahanan energi Indonesia untuk masa yang akan datang.
5.2 Saran
Perlu adanya pengkajian dan
tindakan lebih lanjut dari berbagai pihak terkait untuk mengatasi permasalahan
energi di Indonesia dengan meneliti potensi alam terutama mikroalga yang sangat melimpah di
perairan Indonesia untuk dijadikan sebagai bahan baku biodiesel yang potensial
sehingga mampu menjaga ketahanan energi nasional.
BACA JUGA: CONTOH KARYA TULIS ILMIAH - Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masjid Terintegrasi Menuju Indonesia Madani
BACA JUGA: CONTOH KARYA TULIS ILMIAH - Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masjid Terintegrasi Menuju Indonesia Madani
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari. 2004.
Fertilization, soil and
water quality man-agement
in small scale
ponds: Fertilization require-ments
and soil properties.
http://library.enaca.org/ AquacultureAsia /Articles / Oct-Dec-2003
/9fertilization. pdf. Accessed
on Agustus 27,
2014.
Agus, S.D.
2000. “Cadangan Energi.
Kebutuhan Energi dan
Teknologi Masa Depan”.
Statistik.2013.Produksi
Buah-buahan dan Sayuran
Tahunan Di Indonesia. http://www.bps.go.id . Diakses 2 Agustus 2014.
Amini, S.
2005b. Budidaya
Chlorella sp. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan
Indonesia 2005. Jakarta: STP. 322–330
Amini. S.
2005 a. Skrining mikroalga-penghasil kandungan asam
lemak omega 3. Prosiding Seminar Nasional Perikanan
Indonesia 2005. STP. Jakarta. 269–275
Andrews, R., Kunlei L., Mark
C., Czarena C., and Aubrey S. 2008. Feasibility
of capture and
utilization of C02 from kentucky
power plants by
algae systems. Technical Review of the Literature Related to the
31 Squalen Vol. 5 No. 1, Mei 2010
Cultivation and Harvesting of Algae
for CO2 Fixation and the
Co-Production of Fuels and
Chemicals. University of Kentucky. USA.
21 pp.
Banerjee, A., Sharma,
R., Chisty, Y., and Banerjee,
U.C. 2002. Botryococcus braunii: A renewable
source of hydrocarbons and
other chemicals.
Critical
Reviews in Biotechnology. (22) 3: 245–279
Chisti, J.,
2007, Biodiesel from microalgae. Cisneros : Biotechnology
Advances, (25)
294-306
Dayananda, C., Sarada,
R., Komar, V., and Ravishankar,
G.A. 2007. “Isolation
and characterization of
hydro-carbon producing green
alga Botryococcus braunii
from Indian freshwater
bodies” . Electronic Journal of Biotechn ology. 1(10 ) : 8 0 –9 1
. http://www. ejbiotechnology. info/content/vol10/issue1/full/11/ 11.pdf.
Accessed on Agustus 27,
2014. Frenz, J., Largeau, C.,
Casadevall, E., Kollerup,
F., and Daugulis, A.J . 1989.
Hydrocarbon recovery
and biocompatibility of solvents
for extraction from
cul-tures of Botryococcus braunii. Biotechnology
and Bioengineering. 34 (6): 755–762.
Gao, Y., Gregor, C.,
Liang, Y., Tang, D., and Tweed, C.2009.
Algae Biodiesel. A
Feasibility Report on BPRO 29000. 43 pp.
Ghezelbesh, F., Farboodnia, T., Heidari, R., and Agh,
N. 2008. Effects of different
salinities and luminance
on growth of the green microalgae
Tetraselmis chuii. Research Journal of Biological Sciences. 3 (3):
311
314.
Graham, L.E.
and W ilcox, L.W.
2000. Algae. USA:
Prentice-Hall, p. 78–89. Hillen,
L.W., Pollard, G., Wake, L.V.,
and White, N. 1982. “Hydrocracking
of the oils of Botryococcus braunii to transport
fuel”. Biotechnology and Bioengineering 24: 193–205. http://www3.interscience.wiley.com/cgi bin/
abstract/107620334/. Accessed on
Agustus 27, 2014
Hulteberg, C., Karlsson,
H.T., Børresen, B.T., and Eklund,
H. 2008.
Final Report
on Biodiesel Production from
Microalgae. Presented to
Statoil Hydro ASA Oslo, Norway
May 16, 2008. 88 pp.
Isnansetyo, A.
dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius.
Kabinawa, I.N.K.
2008. Biodiesel energi terbarukan
dari mikroalga. Warta Pertamina.
(9): 31–35. Kementerian ESDM,
2013. “Program Desa
Mandiri Energi“ . Sumber : (http://www.indonesia.go.id/) di akses tanggal 17 Agustus 2014.
Knothe, G.
2006. Analyzing biodiesel: standards
and pother methods. Journal American Oil Chemical Society. 83 (10):
823–833.
Li, R. and Watanabe,
M.M. 2001. Fatty acid profiles and their
chemotaxonomy in planktonic species
of Anabaena (Cyanobacteria) with
straight trichomes.
Phytochemistry. 57: 727–731.
Manahan, E.S.
1984. Environmental chemistry. 4th Edition. Brooks /Cole.
Monterey:
Publishing Company 612 pp.
McMichens, R.B. 2009. Algae as a Source for Biodiesel.
Paper of
University of Maryland : College Park
library (unpublished). 40 pp.
Metzger, P. and Largeau, C.
2005. Botryococcus braunii: a rich
source for hydrocarbons and
related ether lipids. Application Microbiology Biotechnology. (66) 5:
486–496.
Patil, V.,
Tran, K.Q., and
Giselrod, H.R. 2008. Towards sustainable production
of biodiesels from microalgae. Int. J. Mol. Sci.
(9): 1158–
1195.
Prihandana, R. dan Roy
H. 2006. Petunjuk
Budi Daya Jarak Pagar. Jakarta: Agro
Media Pustaka 72 pp.
Rao, A.R., Dayananda,
C., Sarada, R.,
Shamala, T.R., Ravishankar, G.A.
2007. Effect of salinity on growth of
green alga Botryococcus . Paper of
University of Maryland
: College Park library (unpublished). Romimohtarto,
K. 2004. Meroplankton
Laut:Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Jakarta : Djambatan 214 pp.
Spolaore, P.,
Joannis-Cassan, C., Duran,
E., Isambert, A. 2006. Commercial
applications of microalgae. Journal of Bioscience and
Bioenginering, 101: 87– 96.
Sudrajat dan
Setiawan, D. 2003. Teknologi
pembuatan biodiesel dari minyak
biji jarak pagar.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
23: 53–68.
Verma, N.H., Mehrotra, S.,
Amitesh Shukla, A., and Mishra, B.N.
2010. Prospective of biodiesel
production utilizing
microalgae as the
cell factories: A
compre-hensive discussion. African Journal of Biotechnol-ogy. 9 (10): 1402–1411.
Widianingsih, A., Ridho, R.,
Hartati, dan Harmoko. 2008. Kandungan nutrisi
Spirulina platensis yang dikultur pada media yang berbeda.
Ilmu Kelautan. 13 (3) :167
Zhang, Y.,
Dube, M.A., McLean,
D.D., and Kates,
M. 2003. Biodiesel production from
waste cooking oil: proc ess
design and tec hnologic
al assesment. Biosource
Technology. 89: 1–16.