CONTOH PKM AI (ARTIKEL ILMIAH) / EKOLOGI GULMA PERKEBUNAN KUBIS (Brassica oleracea L.) DI DESA BUNTU, KECAMATAN KEJAJAR, KABUPATEN WONOSOBO, JAWA TENGAH
PROGRAM KREATIVITAS
MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
EKOLOGI GULMA PERKEBUNAN KUBIS (Brassica oleracea L.) DI DESA BUNTU, KECAMATAN KEJAJAR, KABUPATEN WONOSOBO, JAWA TENGAH
BIDANG KEGIATAN:
PKM-AI
Diusulkan oleh :
Betta Ady Gunawan B1J009023
/ 2009
Asti Fitriani B1J009009
/ 2009
Faisal Anggi Pradita B1J010012
/ 2010
UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
PURWOKERTO
EKOLOGI GULMA
PERKEBUNAN KUBIS (Brassica oleracea L.)
DI
DESA BUNTU, KECAMATAN
KEJAJAR, KABUPATEN WONOSOBO, JAWA TENGAH
Betta Ady Gunawan,
Asti Fitriani, Faisal Anggi Pradita
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
53122, Jawa Tengah, Indonesia
ABSTRAK
Gulma merupakan tumbuhan liar yang tumbuh
secara alami dan menjadi pesaing bagi tanaman utama, sehingga keberadaannya
tidak dikehendaki karena merugikan pertumbuhan dan produksi tanaman budidaya.
Perkebunan kubis (Brassica oleracea L.) merupakan
salah satu tanaman budidaya yang ditanam oleh masyarakat Desa Buntu, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo yang memiliki daya jual tinggi di daerah tersebut.
Gulma tanaman kubis tak jarang menggangu perkebunan kubis disaat masa tanam.
Kemampuan kompetisi dari gulma kubis ini membuat hasil dan kualitas perkebunan
kubis menjadi menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan lanjut untuk
menekan pertumbuhan gulma perkebunan kubis ini. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui ekologi gulma perkebunan kubis di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar,
Kabupaten Wonosobo. Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan
langsung di lokasi perkebunan kubis dan dengan menggunakan teknik wawancara
openended. Jenis gulma yang ditemukan adalah Cyperus rotundus, Ageratum
conyzoides, dan Cynodon dactylon. Jenis
gulma yang dominan adalah Ageratum conyzoides. Permasalahan dalam pengelolaan gulma adalah jumlah gulma terlalu banyak
sehingga seringkali penggunaan herbisida kurang efektif. Oleh karena itu,
pemberantasan gulma dengan cara dicabut secara berkala serta menggunakan
herbisida.
Kata kunci: gulma, perkebunan kubis,
Wonosobo.
ABSTRACT
Weeds are plants that grow
naturally and a contender for the main crop, so its existence is not required
because it is detrimental to the growth and cultivation of crop production.
Plantations of cabbage (Brassica oleracea L.) is one of the cultivation of crops planted by villagers of Buntu,
District Kejajar, Wonosobo Regency who have high selling power in the area.
Weed of cabbage plant often disturb the cabbage plantation during the time of
planting. The ability of this cabbage weed competition makes the results and
quality of cabbage plantation into a decline. Therefore, the need for further
actions to suppress the growth of weeds cabbage plantation. The purpose of this
research is to know the ecology of weeds in a Buntu’s Village cabbage
plantation, District Kejajar, Wonosobo Regency. The method of data collection
is done by direct observation in cabbage plantations and by using open-ended
interview techniques. Types of weeds that are found is Cyperus rotundus,
Ageratum conyzoides, and Cynodon
dactylon. A kind of weeds dominant is Ageratum
conyzoides. Problems in the management of
weeds is the sum of weeds too much so often the use of a herbicide less effective.
Therefore, eradication weed in an
inalienable manner periodically and using herbicides.
Keywords: weed, cabbage plantation,
Wonosobo.
PENDAHULUAN
Gulma merupakan
tumbuhan yang tumbuh pada suatu tempat dan keberadaannya tidak diinginkan
karena mengganggu tanaman budidaya atau dapat mengganggu aktifitas manusia.
Dalam konteks ekologi gulma tanaman budidaya (weedcrop ecology), gulma adalah
tumbuhan yang berasal dari lingkungan alami dan secara kontinyu mengganggu
tanaman dan aktifitas manusia dalam mengusahakan tanaman budidaya (Aldrich,
1984). Masalah gulma sebenarnya merupakan masalah penting dalam usaha
pertanian, namun tidak mendapat perhatian seperti hama atau penyakit tanaman
yang lainnya. Hal tersebut disebabkan karena kerugian yang ditimbulkan oleh
gulma sedikit demi sedikit tidak langsung bisa dilihat, tetapi sebenarnya
sangat menurunkan hasil panen. (Moenandir et
al., 1993 dalam Utami 2004).
Keberadaan gulma yang dibiarkan tumbuh pada tanaman budidaya akan menurunkan 20
– 80% hasil panen. Penurunan hasil tanaman sangat bervareasi tergantung dari
berbagai faktor, antara lain kemampuan tanaman berkompetisi, jenis-jenis gulma,
umur tanaman dan umur gulma, tehnik budidaya dan durasi mereka berkompetisi
(Utami, 2004).
Buntu merupakan
salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Luas
desa ini 3,34 km² dengan suhu udara ± 25ºC, pH tanah 6,8, suhu tanah ± 21ºC.
Desa Buntu berada di ketinggian ± 600 m dpl. Pencaharian utama masyarakat buntu
adalah sebagai petani sayuran. Sayuran yang banyak dibudidayakan yaitu kubis
(Anonim, 2010). Kubis (Brassica oleracea L.)
merupakan salah satu komoditi perekonomian masyarakat Wonosobo. Tanaman kubis
merupakan tanaman sayur-sayuran yang telah banyak diusahakan para petani di
pedesaan Indonesia, karena banyak mengandung vitamin A 200 IU, B 20 IU dan C
120 IU mgr (LIPTAN, 1993). Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian
100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya
tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah dengan ketinggian
di bawah 100 m, tanaman kubis tumbuh kurang baik (Permadi dan Sastrosiswojo,
1993).
Tanaman kubis
tumbuh baik pada lahan pertanian yang gembur, mudah menahan air dan tanah
tersebut banyak mengandung humus. Tanaman kubis menghendaki iklim dengan suhu
relatif rendah, kelembaban tinggi dan tumbuh baik pada ketinggian 1000 - 2000 dpl. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara
pencangkulan tanah sebanyak 2 kali, pencangkulan pertama sedalam 30-40 cm, kemudian dibiarkan dahulu untuk mendapat
sinar matahari selama 7 - 10 hari.
Setelah itu, dicangkul untuk kedua kalinya sekaligus diberi pupuk kandang
sebanyak 10 - 15 ton /ha dan dibuatkan
bedengan selebar 100 cm. Pada waktu berumur 2 dan 4 minggu setelah tanam
diberikan pupuk buatan ZA 400 kg/ha, DS 200
kg/ha (Arif, 1990).
Sebagai komoditas
pertanian andalan di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah yang bernilai
ekonomi tinggi, maka peningkatan produksi kentang dan kubis adalah satu-satunya
pertimbangan utama dalam usaha tani. Usaha peningkatan produksi kentang dan
kubis dipengaruhi adanya faktor pembatas penting di lapangan antara lain adanya
serangan hama dan penyakit tumbuhan (Rukmana, 1997 dalam Purwantisari dan Hastuti, 2009). Selain itu faktor pengganggu seperti tumbuhnya gulma, jenis
tanah, pemberian obat kimia, cuaca dan musim di sekitar perkebunan kubis
membuat hasil dan kualitas panen menurun.
Kemampuan gulma
menekan pertumbuhan tanaman budidaya sangat ditentukan oleh jenisnya,
kepadatan, dan lamanya gulma tumbuh di pertanaman. Ketiga faktor tersebut
menentukan derajat persaingan gulma dalam memperoleh sumberdaya yang tersedia.
Pengendalian gulma dilakukan dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma
sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan
efisien atau merupakan prinsip mempertahankan kerugian minimum yaitu menekan
populasi gulma sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomi
atau tidak melampaui ambang ekonomi, namun dalam pengendaliannya diperlukan
pengetahuan yang cukup tentang gulma yang bersangkutan dan teknik
penanggulangannya dan salah satu perbaikan teknik budidaya adalah usaha pengelolaan
gulma dengan tidak merusak lingkungan (Froud-Williams, 2002 dalam Hidayati, 2009).
BAHAN DAN METODE
Lokasi penelitian
dalam pengamatan ekologi gulma ini dilakukan di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar,
Kabupaten Wonosobo pada bulan Desember
2012 di salah satu perkebunan kubis masyarakat Desa Buntu dan mengamati
tumbuhan gulma yang tumbuh di perkebunan kubis. Alat dan bahan yang digunakan
antara lain gunting tanaman, cetok, kantong plastik, meteran, tali rafia,
kamera digital dan alat tulis.
Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah pengamatan langsung di lapangan dengan cara :
1.
Metode survey dengan membuat petak transek kuadran
berukuran 1 x 1 meter yang diletakkan secara acak.
2. Mengetahui
komposisi jenis dan kerapatan jenis gulma, menggunakan rumus :
Indeks Nilai Penting =
Frekuensi Relatif (FR) + Kerapatan Relatif (KR)
3. Metode
wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik open-ended dimana teknik ini dilakukan dengan tanya jawab secara
rinci untuk mengetahui permasalahan yang dialami oleh petani dan perkebunan
kubis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini
dimulai dengan melakukan pembuatan transek diperkebunan kubis. Transek
berukuran 1x1 meter diletakkan secara random
dan dilakukan pengamatan jenis-jenis gulma yang termasuk didalam transek
tersebut. Kelengkapan data juga diperoleh dengan melakukan wawancara kepada
petani kubis yaitu Ibu Hariyanti. Data hasil wawancara ditabulasikan pada tabel
sebagai berikut.
Tabel 1. Data hasil wawancara dan inventarisir
permasalahan areal perkebunan kubis.
No.
|
Uraian Kegiatan
|
Jenis Tanaman Budidaya Kubis
|
1.
|
Sistem budidaya
|
Monokultur
|
2.
|
Jarak tanam
|
20-30
cm
|
3
|
Jenis gulma
|
Cyperus rotundus,
Ageratum conyzoides,
Cynodon dactylon,
Dymaria
stylosa, Ageratum houstorianum, Dymaria cordata, Oxalis corniculata, Eleusine
indica, Paspalum paspaloides, Amaranthus lividus, Capsella burva pastolris,
Borreria alata, Amaranthus spinosus, Polygonum sp., Portulaca aleracea, dan Artemisia
vulgaris
|
4
|
Dominansi gulma
|
Ageratum
conyzoides
|
5
|
Permasalahan gulma
|
Jumlah gulma terlalu banyak sehingga
terkadang penggunaan herbisida kurang efektif
|
6
|
Kondisi lingkungan
|
Di sekitar tanaman kubis masih sering
terdapat gulma.
|
7
|
Pemberantasan gulma
|
Pemberantasan
gulma dengan cara pencabutan secara berkala atau terkadang juga disiangi
serta menggunakan herbisida jika diperlukan
|
8
|
Jenis obat yang digunakan
untuk memberantas gulma
|
bahan aktif 1,1′-dimetil-4,4′-bipiridin
(paraquat) ( Anonim, 2012)
|
Tabel 2. Data
Penambahan jenis gulma pada berbagai ukuran kuadrat
No.
|
Ukuran kuadrat
|
Jumlah jenis
|
Jenis Gulma
|
1.
|
25 x 25 cm
|
4
|
Cyperus
rotundus, Cynodon dactylon, Dymaria stylosa, Ageratum houstorianum
|
2.
|
25 x 50 cm
|
2
|
Dymaria
cordata, Oxalis corniculata
|
3.
|
50 x 50 cm
|
2
|
Ageratum conyzoides
Eleusine
indica
|
4.
|
50 x 100 cm
|
3
|
Paspalum paspaloides
Amaranthus lividus
Capsella
burva pastolris
|
5.
|
100 x 100 cm
|
1
|
Borreria
alata
|
Gulma - gulma yang tumbuh di
perkebunan kubis
Tabel 1.
merupakan hasil wawancara dengan petani perkebunan yaitu Ibu Hariyanti yang
dilakukan pada saat pengamatan di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten
Wonosobo. Perkebunan kubis ini berada pada ketinggian 600 m dpl dan memiliki
temperatur antara 22-250C dengan suhu tanah 210C. Luas
daerah Desa Buntu adalah 3,34 Km2. Areal perkebunan ini ditanami
dengan tanaman kubis. Jenis-jenis gulma yang ada ditanaman kubis ini adalah Cyperus rotundus, Ageratum conyzoides,
Cynodon dactylon, Dymaria stylosa, Ageratum houstorianum, Dymaria cordata,
Oxalis corniculata, Eleusine indica, Paspalum paspaloides, Amaranthus lividus,
Capsella burva pastolris, Borreria alata, Amaranthus spinosus, Polygonum sp.,
Portulaca aleracea, dan Artemisia vulgaris Tetapi jenis gulma yang
paling dominan di perkebunan ini menurut petani di perkebunan kubis adalah Ageratum conyzoides yaitu jenis gulma
berdaun lebar.
Gambar 1. Gulma Ageratum conyzoides
Bandotan (Ageratum conyzoides) merupakan gulma
pertanian anggota suku Asteraceae. Terna semusim ini berasal dari Amerika
tropis, khususnya Brazil, akan tetapi telah lama masuk dan meliar di wilayah
Nusantara. Bandotan disebut juga sebagai babandotan (babadotan), wedusan, dan
dus-bedusan. Tumbuhan ini menyebar luas di seluruh wilayah tropika, bahkan
hingga subtropika. Tumbuhan tersebut didatangkan ke Jawa sebelum tahun 1860,
kini gulma ini telah menyebar luas di Indonesia ( Soerjani, 1987).
Luas minimum didapatkan setelah persentase
penambahan jenis baru kurang dari ≥10%, jika presentase penambahan kurang dari 10% maka
pembuatan petak dihentikan.
Dari data hasil praktikum dan perhitungan luas minimum dapat dtentukan setelah
pembuatan petak kelima dengan luas petak 1,00 x 1,00 m2 =1,00 m2
dengan jumlah jenis 12 sehingga didapatkan presentase 1/11 x 100% =
9,09%. Nilai kisaran luas minimum yang dihasilkan sebesar 0.25 m2.
Luas daerah vegetasi yang telah diambil diatasnya sangat bervariasi untuk
setiap bentuk vegetasi mulai dari 0,25 m2 sampai 1m2.
Indeks nilai penting (INP) terbesar yaitu pada Oxalis corniculata sebesar 72,91 %, sedangkan yang terendah yaitu Polygonum sp. dengan nilai indeks
penting sebesar 4,92 %. Frekuensi total sebesar 4,6, kerapatan total sebesar
34, KR tertinggi sebesar 51,17% dan FR tertinggi sebesar 21,74%.
Tanaman kubis
atau kol merupakan salah satu jenis sayuran dari genera Brassica yang tergolong
kedalam familia Cruciferae (Brassicaeae) (Sastrosiswojo, 1993). Tanaman kubis
ini berasal dari daerah subtropis dan telah lama dikenal dan dibudidayakan di
Indonesia. Produksi kubis di negara kita, selain untuk memenuhi keperluan dalam
negeri, juga merupakan komoditas ekspor. Kubis termasuk kelompok enam besar
sayur segar yang diekspor Indonesia, yakni bersama-sama dengan tomat, lombok
dan bawang merah (Rukmana, 1994). Daun-daun berbentuk bulat telur sampai
lonjong, lebar dan berwarna hijau. Daun-daun atas pada fase generatif akan
saling menutupi satu sama lain membentuk krop. Bentuk krop bervariasi, bulat
telur, gepeng dan kerucut. Tanaman kubis yang dibudidayakan umumnya berhabitus
perdu dan tumbuh semusim (annual) ataupun dwi musim (biennual). Sistem perakaran
relatif dangkal (20-30 cm). Batang tanaman kubis pendek dan banyak mengadung
air (herbaceous). Disekeliling batang hingga titik tumbuh, terdapat helaian
daun yang bertangkai ( Rukmana, 1994).
Pengendalian Gulma
Gulma merupakan tumbuhan liar yang tumbuh secara alami dan menjadi
pesaing bagi tanaman utama, sehingga keberadaannya tidak dikehendaki karena
merugikan pertumbuhan dan produksi tanaman tersebut. Kemudian untuk mengatasi
gulma yang ada pada perkebunan kubis, gulma disiangi dengan cara mencabut
rumput-rumput atau dengan menggunakan herbisida. Herbisida yang digunakan untuk
mengatasi gulma-gulma yang tumbuh adalah 1,1′-dimetil-4,4′bipiridin (paraquat)
(Anonim, 2012). Bahan aktif ini digunakan oleh petani-petani yang ada di Desa
Buntu. Tanaman pokok yaitu kubis jika masih berumur sangat muda maka
pengendalian gulma dilakukan secara manual tetapi jika umur tanaman sudah
dewasa maka pengendalian gulma dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida
kontak atau sistemik (Bhaktibina, 2011). Menurut Ramli (2010), Upaya yang perlu
dilakukan ialah dengan mengembangkan varietas kubis dataran rendah yang saat
ini mulai dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia Untuk mendapatkan
varietas tersebut perlu kiranya memodifikasi iklim mikro sekitar tanaman, karena
diketahui bahwa dataran rendah umumnya memiliki suhu cukup tinggi dibandingkan
pada dataran tinggi. Modifikasi iklim mikro diantaranya dengan menggunakan
mulsa jerami dan mulsa plastik, bertujuan menjaga kelembaban sekitar perakaran
tanaman dengan mengurangi evapotranspirasi yang tinggi.
Gambar 2. Penggunaan
penutup plastik pada tanaman kubis di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.
Pengendalian gulma pada
tanaman budidaya menurut hasil penelitian Hidayati (2009) dapat dilakukan
dengan menggunakan bokashi. Nilai rata-rata efisiensi pengendalian gulma dan
pengaruh antar perlakuan tidak menunjukkan pengaruh interaksi antara perlakuan
pengendalian gulma dengan perlakuan bokashi, akan tetapi masing-masing
perlakuan pengendalian berpengaruh signifikan terhadap efisiensi pengendalian
gulma. Nilai rata-rata tertinggi dicapai oleh perlakuan pengendalian secara
kimia (p3). Selanjutnya, pengaruh perlakuan (p3) sama dengan perlakuan mulsa
(p2) dan berbeda dengan perlakuan pengendalian secara manual (p1) dan tanpa
pengendalian (p0).
Perlakuan pengendalian
secara kimia dan pengendalian secara kultur tehnik (penggunaan mulsa) memberi
pengaruh yang sama terhadap EPG (Efisiensi Pengendalian Gulma) sehingga dapat
dipastikan bahwa untuk menghemat tenaga biaya dan waktu serta tidak merusak
lingkungan maka pengendalian gulma secara kultur tehnik (penggunaan mulsa)
dapat menggantikan pengendalian gulma secara kimia dan lebih layak/efektif
diterapkan pada areal yang tidak terlalu luas (areal tanaman pangan) (Hidayati,
2009). Menurut Syamsudin (2006) bahwa dengan pemberian mulsa yang dihamparkan
diatas permukaan tanah dapat mengurangi laju pertumbuhan gulma dan efektif
dibanding dengan penggunaan herbisida pratumbuh.
Menurut hasil penelitian
Nasikhun, et al. (2011) pemeliharaan
dan pengendalian tanaman kubis untuk terhindar dari gangguan gulma dapat
dilakukan dengan cara pengairan atau penyiraman, pemupukan, penyiangan dan
pendangiran serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dan pendangiran
dilakukan pada tanaman berumur 20 hari dengan cara mencabut gulma disekitar
tanaman, kemudian dicangkul untuk membuat alur.
Penyakit pada Tanaman Pokok
Tanaman kubis biasanya diserang oleh hama ulat kubis (Plutella maculipennis), dikendalikan
dengan Diazinon atau Bayrusil 1-2 cc/1
air dengan frekuensi penyemprotan 1 minggu. Sedangkan ulat kubis (Crocidolonia binotalis) dikendalikan
dengan Bayrusil 13 cc/1 air. Salah satu masalah dalam budidaya tanaman
kubis adalah hama ulat krop (Crocidolomia
binotalis). Stadium larva C.
binotalis merupakan hama potensial pada tanaman keluarga Brassicaceae,
salah satunya adalah tanaman kubis ini (Pracaya, 2009 dalam Widiana dan Zeswita, 2012). Selain itu kubis terkadang juga
diserang oleh patogen yang menyebab penyakit pada tanaman kubis ini misalnya
penyakit busuk akar yang disebabkan Rhizoktonia sp dapat dikendalikan dengan
bubur Bordeaux atau fungisida yang dianjurkan. Busuk hitam (Xanthomonas campestris) dan busuk lunak
bakteri Erwinia carotovora dan
penyakit pekung Phomalincran, penyakit kaki gajah (Plasmodiophora rassicae) belum dapat diatasi. Bila ada tanaman yang
terserang segera dicabut lalu dibakar (Cahyono, 1995). Menurut hasil penelitian
Roesmiyanto, et al. (1996) pencelupan
akar bibit kobis sampai sebatas batang bawah, sebelum ditanam, dalam larutan
Benomil 0,5% dapat mengendalikan penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris) yang sering menyerang tanaman kobis di
daerah Gemutri dan Singolangu.
BACA JUGA: PROPOSAL PKM GT (GAGASAN TERTULIS) / EVALUASI LAHAN PERTANIAN DENGAN METODE PENGAWETAN TANAH DAN AIR YANG EFEKTIF SERTA EKONOMIS DI DATARAN TINGGI DIENG
BACA JUGA: PROPOSAL PKM GT (GAGASAN TERTULIS) / EVALUASI LAHAN PERTANIAN DENGAN METODE PENGAWETAN TANAH DAN AIR YANG EFEKTIF SERTA EKONOMIS DI DATARAN TINGGI DIENG
KESIMPULAN
Berdasarkan
data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkebunan kubis Desa Buntu,
Kecamatan Kejajar, Wonosobo menggunakan sistem budidaya monokultur dengan jenis
gulma yang tumbuh antara lain Cyperus
rotundus, Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, Dymaria stylosa, Ageratum
houstorianum, Dymaria cordata, Oxalis corniculata, Eleusine indica, Paspalum
paspaloides, Amaranthus lividus, Capsella burva pastolris, Borreria alata,
Amaranthus spinosus, Polygonum sp., Portulaca
aleracea, dan Artemisia vulgaris Jenis
gulma yang dominan adalah Ageratum
conyzoide. Banyaknya gulma yang tumbuh membuat beberapa gulma susah
diberantas dengan menggunakan herbisida 1,1′-dimetil-4,4′-bipiridin (paraquat).
Oleh karena itu, cara pencabutan, disiangi dan diberi herbisida adalah cara
yang paling efektif untuk memberantas gulma tersebut. Nilai kisaran luas
minimum yang dihasilkan sebesar 0.25 m2. Indeks nilai penting (INP)
terbesar yaitu pada Oxalis corniculata sebesar
72,91 %, sedangkan yang terendah yaitu Polygonum
sp. dengan nilai indeks penting sebesar 4,92 %. Frekuensi total sebesar
4,6, kerapatan total sebesar 34, Kerapatan Relatif tertinggi sebesar 51,17% dan
Frekuensi Relatif tertinggi sebesar 21,74%.