TUGAS TERSTRUKTUR PERTANIAN BERKELANJUTAN / TEKNOLOGI DAN STRATEGI KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN
TUGAS
TERSTRUKTUR
PERTANIAN
BERKELANJUTAN
TEKNOLOGI
DAN STRATEGI KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN
Oleh
:
Nama :
NIM :
Kelas :
Dosen :
Ir. Supartoto, M.Agr. Sc
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2014
TEKNOLOGI
DAN STRATEGI KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN
A.
Latar
Belakang
Budi daya pertanian yang sering
terabaikan oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah.
Hal ini terjadi antara lain karena
1. Dampak
degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan, atau tidak secara
drastis menurunkan hasil panen.
2. Dampak
erosi tanah dan pencemaran agrokimia, misalnya,
tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak tanah longsor atau banjir
badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif, produktivitas
lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin keberlanjutannya.
3. Praktek
pertanian yang buruk ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga
dinegara-negara berkembang lainnya. Hal ini tercermin dari pernyataan Lord John
Boyd Orr (1948), Dirjen FAO pertama, dalam (Dudal 1980) sebagai berikut: “If
the soil on which all agriculture and all human life depends is wasted away,
then the battle to free mankind from want cannot be won”. Pernyataan tersebut
menegaskan pentingnya konservasi tanah untuk memenangkan perjuangan kemanusiaan
dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia.
4. Gambaran
yang mengkhawatirkan di Indonesia, khusus di Pulau Jawa saja, kerugian akibat
erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun (Margrath dan Arens 1989).
5. Data
lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004, terjadi 402 kali banjir dan
294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian materi sebagai
tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo 2006).
6. Nilai
intangible products yang hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek
ekologis, lingkungan maupun sosial dan budaya, sebagai bagian dari multifungsi
pertanian. Namun dapat dipastikan bahwa nilai intangible tersebut sangat besar,
baik secara material maupun immaterial.
7. Tingkat
laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia
tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal, banyak
lahan pertanian yang berlereng lebih
dari 15%, bahkan lebih dari 100%, sehingga laju erosi dipastikan sangat tinggi.
Hal ini terjadi terutama karena curah hujan yang tinggi dan kelalaian pengguna
lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
8.
Makin luas dan cepatnya
laju degradasi tanah, dan masih lemahnya implementasi konservasi tanah di
Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya terobosan yang efektif untuk
menyelamatkan lahan-lahan pertanian.
B.
Tujuan
Upaya konservasi
tanah bertujuan untuk:
1. Mewujudkan
pembangunan pertanian berkelanjutan, yang dicirikan dengan tingkat
produktivitas tinggi dan penerapan kaidah kaidah konservasi tanah.
2. Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan lingkungan.
3. Meningkatkan
daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan
distribusi, serta praktek usaha pertanian yang baik.
4. Mendukung
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang salah satu
sasaran utamanya adalah optimalisasi dan pelestarian lahan.
C.
Manfaat
1. Bagi
peneliti, sebagai tambahan pengetahuan tentang teknologi dan strategi
konservasi tanah dalam kerangka revitalisasi pertanian
2. Bagi
pembaca, hasil penelitian ini diharapkan sebagai tambahan informasi dan pengetahuan
tentang teknologi dan strategi konservasi tanah dalam kerangka revitalisasi
pertanian
D.
Uraian
Teknologi yang Diterapkan
Pada
kurun waktu 1982-2005, telah dilaksanakan berbagai kegiatan diseminasi dan
pemanfaatan teknologi konservasi pada proyek-proyek konservasi seperti tersebut
di atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras bangku,
teras gulud, strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley cropping). Teknik
konservasi yang paling banyak diadopsi adalah teras bangku, karena sejak tahun
1975 teknik konservasi ini telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah
diterbitkannya Inpres Penghijauan (Mangundikoro 1985). Teknik pertanaman lorong
banyak diteliti dan didiseminasikan antara lain untuk menguji berbagai jenis tanaman
yang cocok untuk tanaman pagar, dan mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman
pagar terhadap tanaman lorong (Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).
Teknik
pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku, prosiding, dan
petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah dipublikasikan dalam
bentuk buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah mekanik (Dariah et
al. 2004), teknologi konservasi tanah vegetatif (Santoso et al. 2004), teknologi
konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi (Kurnia et al. 2004),
dan teknologi pengendalian erosi lahan berlereng (Abdurachman et al. 2005).
Pengetahuan
dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin diperlukan sejalan
dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah dan lahan sebagai
konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan dan
pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi pengendalian erosi saja tidak
cukup, karena dewasa ini degradasi tanah tidak hanya diakibatkan oleh erosi,
seperti halnya pada 40-50 tahun yang lalu. Degradasi tanah sudah merambah ke
proses pen- cemaran residu
bahan-bahan agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran
hutan, dan konversi lahan pertanian.
Strategi
Konservasi Tanah Di Indonesia
Upaya
konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan petani
saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang memahami
pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dan
menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan implementasinya
di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal
sebagai berikut.
Strategi 1 (Penyiapan
Teknologi Konservasi)
Teknologi
konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan
longsor, sudah tersedia. Beberapa diantaranya telah dipublikasikan dalam berbagai
media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan
dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga
dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi
untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan
dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih
lanjut.
Strategi 2 (Percepatan
Diseminasi)
Upaya
penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi yang
handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek reboisasi
dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek
tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi
wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu.
Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung
pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian
metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya
sendiri.
Salah
satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan diseminasi
teknologi konservasi adalah ‘Prima Tani’, yang salah satu tujuannya adalah
mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani
merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program
pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang
juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya
manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan
semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi
konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih
jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan
pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah
pembangunan pertanian (Abdurachman 2007).
Teknologi
konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan
penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada
Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan
teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara
spesifik lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan
kristalisasi serta sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian
dan pengembangan konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.
Strategi 3 (Reformasi
Kelembagaan Konservasi Tanah)
Pada
tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk kelembagaan
eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan Permentan
No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya pengelolaan
lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat
jabatan yang relative rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi,
dan Reklamasi Lahan.
Makin
cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan
tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas,
antara lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat
konservasi tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu
kelembagaan setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen
PLA, bahkan lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan
demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia.
Strategi 4 (Relokasi
Program Konservasi Tanah)
Program
konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan nama
Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003
digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha
digunakan anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi
(Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan
untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran
drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti,
terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya
program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di
Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di
provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan
mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan
programnya pada penanganan konservasi kawasan hutan.
Strategi 5 Pelaksanaan
Program Pendukung
Upaya
konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan implementasi
programnya, antara lain berupa program sebagai berikut. Peningkatan Kesadaran
Masyarakat, penguatan kelembaggaan penyuluhan, penegakkan hokum, advokasi
penanggung jawab konservasi,
E.
Pembahasan
Konservasi tanah dalam kerangka
revitalisasi pertanian berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, adalah
sebagai berikut :
- Aspek
Sosial dan Ekonomi
Rendahnya
adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih
kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi
di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa
walaupun masih ada kekurangan alam teknologi konservasi dan masih ada ruang
untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial,
dan ekonomi.
Kebijakan
dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya
pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai
dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan
tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih
ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro,
sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak
tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan
pertanian di masa mendatang.
Selain
kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat
penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan,
fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi
ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk
mengabaikan konservasi tanah.
Konversi
lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa
mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian
(Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain
itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan
lahan dengan alasan mudah dan murah.
- Aspek
Lingkungan
Degradasi
tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini telah
berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan terutama lahan-lahan
pertanian. Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran
hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga
konversi lahan pertanian ke nonpertanian.
Hasil
penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah
berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Beberapa
data dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Sedimentasi
di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju erosi tanah dari 0,9
mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada 1934/1935, dan naik lagi
menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974).
b. Laju
erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup areal 332
ribu ha (Partosedono 1977).
c. Pada
tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman
pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981).
d. Di
Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur,
sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang
ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
Data
di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan
tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun,
dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan
bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah
mencapai 10,9 juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan
kritis mencapai 13,2 juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.
Selain
terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas akibat
penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah atau
pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan adanya
residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat,
organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999;
Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti
pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa
(Hg) dengan kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran
tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas,
baterai, dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah
antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu
Tanah 2000).
Proses
degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama
di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam
Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran
hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai
Rp647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia
terbakar selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya
kebakaran gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan
1983. Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai
material turut hangus terbakar,seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al.
(2000), kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut.
Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan
hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan
Parlan 2002).
Degradasi
lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang membawa
tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini menimbulkan
kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang
tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut.
Proses
degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat
cepat menurunkan bahkan menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi
ke penggunaan nonpertanian. Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi
lahan sawah seluas 1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di
Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah
beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk
terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah
berpotensi untuk dikonversi.
F.
Kesimpulan
-
Salah satu teknologi
konservasi adalah ‘Prima Tani’. Teknologi konservasi ini layak diterapkan untuk
pertanian berkelanjutan karena mampu mempercepat diseminasi inovasi pertanian. Prima
Tani merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai
program pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis,
yang juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa
sumber daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani
sangat dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui
Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani
sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani
sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan
tonggak baru sejarah pembangunan pertanian.
- Iptek
konservasi tanah berkembang sejalan dengan perkembangan penelitian dan
meningkatnya jenis dan intensitas degradasi tanah. Teknologi pengendalian erosi
cukup tersedia, namun diseminasi dan adopsinya oleh pengguna (masyarakat) belum
terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman,A.2008.Teknologi dan Strategi Konservasi Tanah
Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 105-124.Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.Bogor