Cerpen Kertas Kecilku (Finalis Seleksi Pertama Lomba Cerpen Penulis Indahnya Islam 2013)
Kertas
Kecilku
Selepas shalat jumat, masjid
Fatimatuzzahra sepertinya masih begitu ramai. Selain mungkin karena hujan
rintik yang turun semenjak khotbah jumat dimulai, ternyata hari ini adalah hari
jumat yang spesial. Abu Sofi yang dikenal sebagai pendiri masjid ini katanya
akan datang dari Saudi Arabia ke Purwokerto. Denger beritanya beliau akan
mengadakan acara makan bersama di serambi dan sekitar masjid seperti
tahun-tahun sebelumnya selepas sholat jumat siang ini.
Aku
sendiri nampaknya datang terlambat di acara itu. Sepulang dari kampus yang niat
awalnya mau menepati janji seorang teman, ternyata ia tak kunjung datang. Dan
ketika aku kembali ke masjid, kurang beruntungnya hidangan sudah bisa dibilang
habis. Yah, guman dalam hatiku menyaksikan peristiwa itu. Tapi tak mengapa lah.
Aku masih bersyukur karena paling tidak aku sudah mencicipi satu tusuk sate
kambing kecil di sisa baskom prasmanan.
Lalu mencoba menerima dan melapangkan dada sambil merasakan rasa pening
dikepalaku akibat hujan yang mengguyurku sepulang dari kampus tadi.
Sembari
menikmati satu tusuk sate lagi kecil yang tadi, tiba-tiba saja pandanganku
tertuju pada sebuah meja di dekat mimbar masjid. Aku merasa ada sesuatu yang
aneh. Kenapa meja yang sehari-hari digunakan untuk mengaji itu, kok nampaknya
terkesan berbeda pada hari ini. Aku kembali mengingat dan mencoba menjari
jawaban itu. Dan ternyata rasa pusing kepalaku menunjukan pada sebuah jawaban.
Oh iya, meja itu, aku ingat betul meja itu. Meja itu adalah meja yang dulu
pernah aku gunakan untuk mencoba menuliskan mimpi-mimpiku pada sebuah kertas.
Malam
itu aku bersama sahabatku Pahri, sengaja menulis impian-impian yang ingin
dicapai dalam sebuah kertas di atas meja itu. Ditengah hening dan dinginnya
malam, di tengah masjid yang tak berpintu, aku mencoba merangkai mimpiku dalam
sebuah kertas kecil. Dengan penuh harap dan kekusyukan aku menuliskan
mimpi-mimpiku. Mimbar yang berdiri tegak disampingku seolah menjadi saksi bisu
peristiwa itu.
Tak
kurang dari delapan puluh mimpi aku tuliskan dalam kertas karton malam itu. Dan
kini seolah tersentak, karena hari ini aku baru kembali mengingat peristiwa
itu. Hampir saja aku terlupa dan melupakan mimpi-mimpi yang sengaja aku
tuliskan dalam kertas kecil itu. Mimpi yang aku tulis dengan harapan dan
semangat yang tinggi hampir saja sirna. Diriku bersyukur akan kembali diingatkannya
mimpi-mimpi itu, karena mulai terabaikan ditengah kesibukan.
Aku
mencoba mencari kertas kecil mimpi-mimpiku itu. Beruntung sekali, kertas itu
masih tersimpan di tumpukan paling bawah baju almari asrama Pesantren Mahasiswa
tempat dimana aku tinggal. Aku kembali me
review akan tulisan-tulisan itu. Subhanallah,
mbterdapat lebih dari sepuluh tulisan yang telah aku capai saat ini. Namun,
disisi yang lain ternyata aku telah banyak melewatkan dan membuat kesalahan
akan mimpi itu.
Astagfirullah, guman dalam hatiku. Tiba-tiba saja diri
ini ingin meneteskan air mata disela-sela melihat kertas kecil yang kini mulai
usang. Dulu aku pernah berjanji untuk selalu berprestasi sewaktu kuliah.
Mengikuti kompetisi-kompetisi menulis, memberi manfaat orang lain yang membaca tulisanku,
serta membawa nama baik universitas di kancah nasional maupun internasional.
Kini
aku telah menginjak di tahun kedua dimaka aku kuliah. Menempuh pendidikan
tinggi di kota Satria atau kota Purwokerto yang konon ceritanya adalah kota
yang mewarisi jiwa kesatria Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun tepatnya
di semester ketiga ini, aku belum juga mampu untuk berprestasi. Aku hanya
menjadi saksi akan prestasi-prestasi mereka. Aku belum juga mampu memberi
sumbangan juara pada universitas untuk sebuah kompetisi. Dan kini aku hanya kembali
meneteskan air mata akan kebodohanku selama ini. Masih saja dengan bangganya aku
melakukan hal-hal bodoh, hal-hal yang tak bermanfaat serta lalai akan tujuan awal
ke kota ini.
Aku
kini telah menyadari akan kebodohan dan kelalaianku itu. Sekarang tiadalah
waktu bagiku untuk bersantai-santai. Tak ada waktu untuk berleha-leha. Aku
harus segera kembali bertempur ke medan perang demi memperjuangkan
mimpi-mimpiku. Aku tak sampai ha ti bila membuat kecewa ibuku yang setiap saat
mendoakanku. Aku tak mau membuat kecewa almamaterku yang memberi beasiswa
kuliah untukku. Aku harus berjuang. Berjuang merebut mimpi yang telah aku
lupakan. Mimpi itu dan mimpi itu. Mimpiku, mimpi ibuku, universitasku. Lalu sembari
mendekap kertas kecil itu dalam dadaku, ingin kukatakan padanya. “Oh kertas
kecilku, maafkan aku”
*Sekian *