ISLAM DAN IPTEK
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS.
Mujadillah [58] : 11 )
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah
merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) KeMahaKuasaan dan Keagungan Allah
SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited
knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat,
Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena,
prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan
direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin
mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala
eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu
sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang
koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling
memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.
Bila ada pemahaman atau tafsiran
ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang
salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada
’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka
yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang
berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari
melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah
Rasulullah SAAW — yang dipelajari melalui agama– , adalah sama-sama ayat-ayat
(tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah SWT, maka tidak mungkin
satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya
berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara
seluruh Alam Semesta.
Potret
Ilmu Pengetahuan Modern
Di dalam filsafat ilmu pengetahuan
terdapat cabang ontologi (cabang kajian yang
berkaitan dengan obyek), epistemologi (cabang kajian yang berkaitan dengan
metodologi) dan aksiologi (cabang kajian yang berkaitan dengan tujuan). Di
sini, gambaran ilmu pengetahuan modern (baca: barat) akan dipotret dari tiga
titik sudut ini disertai dengan dampak yang ditimbulkannya.
1.
Ontologi
Kajian ontologi ini membahas tentang
obyek dari ilmu pengetahuan. Ketika penulis belajar di sebuah perguruan tinggi
di Jepang, suatu saat penulis menghadiri kuliah pertama pelajaran fisika yang
diberikan oleh seorang guru besar ternama. Pada awal kuliahnya dia menyatakan
sebagai berikut. "Butsurigaku wa goritekina mono o atsukau. Fugoritekina
mono, tatoeba kamisama no sonzai, wa butsurigaku no manaita ni nosetewa ikenai."
Ungkapan
dalam bahasa negeri sakura tersebut berarti, " Obyek ilmu Fisika adalah
halhal yang logis. Hal-hal yang tidak logis, misalnya keberadaan Tuhan, tidak
boleh dimasukkan ke dalam ilmu Fisika." Ungkapan tersebut jelas
membuktikan bahwa obyek ilmu pengetahuan telah dibatasi oleh para ilmuwan itu
dengan cara pandang yang mereka miliki. Khun menyebut cara pandang tersebut
sebagai paradigm sedangkan Sardar menamakannya world view.
Pada ilmu pengetahuan barat, obyek atau
realitas dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi. Hal ini tidak dapat
dipisahkan dengan cara pandang mereka yang bersifat materialistik-sekularistik.
Ilmuwan barat bersikukuh bahwa wilayah ilmu pengetahuan dibatasi pada sesuatu
yang riil, pasti dan kuantitatif. Dengan cara pandang ini, ilmuwan barat merasa
tidak perlu dan menganggap tidak ada artinya mengembara lebih jauh dengan
melihat fenomena alam sebagai kumpulan hikmah.
2.
Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang metodologi. Di dalam ilmu pengetahuan barat, satu-satunya cara
mendapatkan ilmu pengetahuan adalah melalui metoda ilmiah yang ditopang oleh
dua tiang utamanya: rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme dipelopori oleh
Rene Descartes (1596-1650) yang mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
rasio. Hanya pengetahuan yang didapat dari akallah, dengan metoda deduktif,
yang memenuhi syarat ilmiah.4 Tiang kedua dipelopori oleh Francis Bacon
(1561-1626) yang menegaskan bahwa pengalaman empirislah yang menjadi sumber
ilmu pengetahuan. Apa-apa yang didapat dari eksperimen empiris, melalui metoda
induktif, yang dapat dikatakan ilmiah.5 Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanya
dapat diperoleh melalui penalaran rasional dan pengalaman empiris berarti tidak
membuka ruang bagi peran wahyu ilahi dalam wilayah ilmu pengetahuan.
3.
Aksiologi
Aksiologi adalah kajian yang menyangkut
tujuan. Di dalam wilayah kajian ini dibahas tentang manfaat dan mudhorot yang
dapat ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan barat dimanfaatkan
untuk sekadar keuntungan yang bersifat materi dan duniawi. Francis Bacon,
misalnya, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan digunakan untuk memperkuat
kemampuan manusia. Dia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan hanya bermanfaat jika
nampak pada kekuasaan manusia. Dengan lantang dia melontarkan ungkapan yang
bersifat eksploitatif bahwa akhir dari pondasi kita adalah ilmu pengetahuan
mengenai sebab pergerakan benda-benda dan memperluas batasan manusia untuk
menaklukkan semua hal yang mungkin. Ilmu pengetahuan barat tidak memiliki
bingkai nilai yang jelas tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah
menjadi nilai itu sendiri. Oleh karenanya, pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk
penindasan sesama manusia serta eksploitasi besar-besaran terhadap alam dapat
kita lihat sebagai akibat kekosongan ilmu pengetahuan terhadap nilai-nilai.
Beberapa
Pandangan Ilmu Pengetahuan dan Islam
Ziauddin Sardar membagi pendapat ilmuwan
Muslim tentang hubungan ilmu pengetahuan dan Islam ke dalam 3 kelompok.
Pertama,
kelompok yang menilai bahwa ilmu pengetahuan adalah netral dan universal.
Mereka mencari rumusan-rumusan dalam Al-Qur'an yang cocok dengan hasil penemuan
ilmu pengetahuan modern. Mereka menyimpulkan bahwa rumusan-rumusan dalam
Al-Qur'an sangat cocok dengan temuan ilmu pengetahuan modern. Pendekatan ini
terlihat kental dari karya Maurice Bucaille; The Bible, The Qur'an
and Science yang tersebar luas. Kelompok ini kadang ada yang menyebut dengan
Buchaillisme. Pesan yang disampaikan adalah dengan kecocokan ini membuktikan bahwa
Al-Qur'an merupakan kitab yang memiliki kebenaran hakiki yang datang dari pencipta
alam semesta. Pendekatan ini terlihat memberikan manfaat yang besar dengan pesan
yang disampaikan tersebut. Namun, menurut Sardar, ada yang perlu diwaspadai dengan
pendekatan ini, yakni Al-Qur’an dapat dilihat sebagai kitab ilmu pengetahuan
dan bukan kitab hikmah. Umat Islam membaca Al-Qur’an lebih berusaha untuk
menafsirkan ilmu pengetahuannya saja dengan menipiskan perannya sebagai
petunjuk hidup. Bahaya lain yang perlu diwaspadai, masih menurut Sardar, adalah
tujuan pengembangan iptek dibatasi pada pembuktian rumusan-rumusan ilmu
pengetahuan yang ada di dalam Al-Qur’an sehingga tidak menuntun umat Islam
untuk bersifat kreatif dan inovatif di rimba ilmu pengetahuan yang sangat luas.
Al-Qur’an harus dijadikan titik tolak pengembangan ilmu pengetahuan, bukan
sebagai muara akhir pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua,
kelompok yang masih mempertahankan netralitas dan universalitas ilmu pengetahuan,
namun fungsinya harus diubah diarahkan menuju cita-cita Islam dan masyarakatnya.
Kelompok ini, menurut Sardar, dipelopori oleh Z.A. Hasyimi dari Pakistan.
Hasyimi menganjurkan agar para ilmuwan Muslim mampu menghilangkan unsur-unsur
yang tidak diinginkan dalam ilmu pengetahuan barat. Mereka harus memahami
sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan serta memiliki kesadaran akan masa depan
perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan Muslim yang dapat dikatagorikan
dalam kelompok ini, termasuk peraih hadiah Nobel Abdus Salam. Dia pernah
menegaskan "Saya tidak dapat melihat perbedaan ruh dalam aljabar modern dengan
yang dilakukan para ilmuwan Muslim, atau tradisi modern optika dengan Alhazen atau
antara pengamatan Razi dengan perluasan modernnya." Sardar mengkritisi
kelompok ini dengan menyatakan bahwa kelompok ini terlalu mengecilkan peran
ilmu pengetahuan dalam perubahan masyarakat. Dia mengkhawatirkan, dengan
pendekatan ini ilmu pengetahuan modern yang berakar dari sistem nilai barat
dapat menghancurkan sistem nilai yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk
terjadinya konflik tujuan antara tujuan ilmu pengetahuan barat dengan tujuan
masyarakat Islam.
Kelompok ketiga adalah kelompok
yang tidak yakin dengan netralitas dan universalitas ilmu pengetahuan. Mereka
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan barat dibangun dengan cara pandang dan
filosofi barat termasuk dalam memandang realitas.
Kelompok
ini berpendapat konstruksi ilmu pengetahuan perlu dibangun kembali dengan cara
pandang yang Islami. Sardar termasuk yang cenderung dengan kelompok ini. Deliar
Noer kurang setuju dengan pendapat kelompok ini. Dia menyatakan bahwa langkah
ini terlalu rumit, memakan waktu panjang dan memiliki tantangan yang sangat
besar.
Demikianlah 3 bentuk usaha yang telah
dilakukan para ilmuwan Muslim dalam menyikapi ilmu pengetahuan dikaitkan dengan
nilai-nilai Islam yang diyakininya. Tiga bentuk ini, tentu saja, masih mungkin
terus berkembang dengan semakin tingginya kesadaran umat Islam akan
keislamanya.
Islam dan Teknologi
Islam
merupakan agama yang diturunkan Allah SWT dan mempunyai nilai-nilai yang mampu
hidup dalam segala zaman maupun tempat. Misalnya, jika orang dahulu ketika akan
menunaikan ibadah haji, harus menempuh perjalanan membutuhkan waktu sekian
lama, tetapi berkat perkembangan iptek, maka jarak antara Indonesia dengan
Makkah hanya dapat ditempuh kurang lebih 9 jam.
Demikian pula
perkembangan teknologi komunikasi. Jika orang dahulu akan menyampaikan kabar,
harus bejalan jauh agar berita didengar oleh orang yang dituju, sekarang cukup
dengan mengangkat telepon, maka kabar itu sudah sampai.
Sarana dan prasarana yang dihasilkan
iptek tersebut mempermudah dalam mekanisme pengelolaan berbagai bidang. Kemajuan yang demikian bukan lagi searah
dengan perkembangan akal fikir manusia, tetapi juga berbanding lurus dengan
ajaran agama. Islam sebagai agama memberikan motivasi kuat dalam mencerdaskan
akal budinya. Islam,
sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan
mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan
segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda
dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk
kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam mementingkan
pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim
kepada Allah SWT dan mengembang amanat Khalifatullah (wakil/mandataris
Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat
bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin).